Oleh
: Peacevirus Isme
“Gendheng1
kamu
lek! Sekarang tuh jaman
edan, nek gak melu edan ora kedhuman 2
lha
wong Pilkades aja bagi-bagi duit kok, masak mau nyalon dewan gak
bagiin duit, mana mungkin jadi!” cerocos Bagas begitu saja, dia
lantas menarik kembali sarung kumelnya. Disebelahnya Lek Man tenang,
entah memikirkan mau melangkah kemana, dia mengusap rambutnya “skak!”
teriaknya, “sekak mat” tawanya lepas menorehkan penghinaan pada
Agus.
Koran
bekas bungkus gorengan yang sedari tadi dibaca Sugeng tergeletak
tertulis besar dalam koran itu “Indonesia Krisis Pemimpin”. Aku
kemudian membidik mata rekan satu kampusku itu, “ngantuk
Geng?”
tanyaku. “bukan jamannya yang edan Gas! Tapi kau yang edan! Orang
sudah benar-benar memikir masa depan kok kamu edan-edankan!” Sugeng
menyambung. malam semakin larut, wajah kamipun semakin mengeriput.
Aku
menyuruput kembali kopiku, “sruut” nikmat sekali. Bulan berbinar,
purnama yang malam itu berpidar menerangi sudut-sudut kegelapan.
“bagaimana menurut kamu Fud?” tatapan Lek Man mengarah padaku,
sambil sedikit mengangkat kepalanya. “bagaimana apanya Lek?”
tanggapku. “ya, tentang rencana pencalonanku menjadi anggota dewan
itu lho Fud!” kali ini Lek Man memasang muka serius. Aku diam.
****
“menjadi pejabat,
menjadi wakil rakyat, membangun negara itu tak semudah menyeduh kopi
lek! Yang tinggal mengira-kira kopi dan gulanya, lalu tambahkan air
panas, diaduk lalu jadilah negara yang tentram, aman dan damai. Semua
itukan ada hitungannya, bukan sekadar dua sendok gula dan satu
sendok kopi untuk seratus mili air panas, tapi hitung-hitungan yang
panjang, hitungan rumit dan hitungan yang matang. Rakyat sudah bosan
dengan janji-janji para wakil rakyat yang tak pernah ditepati” aku
ikut urun rembug.
“Mahfud
munafik, sok tau kamu! Itukan karena kamu selalu susah payah buat
bayar kost mu! Coba jika kamu tinggal duduk-duduk di bangku dewan,
pekerjaanmu tinggal sidang ini-itu di gaji besar pula, kamu mungkin
akan lupa dengan amanah sesungguhnya. Pokoknya penguasa segalanya
adalah uang Fud! Semua dapat di bayar dengan uang!” Sanggah Bagas
dari balik sarungnya.
“semua
orang kalau masih susah ya ngomong yang baik-baik, coba saja kalau
sudah sukses atau menjadi orang kaya, dia bakalan lupa dengan semua
tanggung jawabnya” lanjut Bagas.
Bagas
memang orang yang kolot, kaku dan tak kenal perubahan. Dalam setiap
argumennya, dia tak pernah melepaskan kekuatan uang yang sebagai
pokok dari segalanya, mungkin karena ia pernah gagal nyalon
polisi setelah memasukkan uang dua ratus juta, padahal dia sudah
lulus atas semua tesnya tapi tetap gagal, saat kutanya kenapa, namaku
di tembak 250 juta oleh orang lain jawabnya.
“ya..itu
yang mau kulakukan Fud, aku ingin membuktikan bahwa diriku mampu
membawa daerah kita ini kearah yang lebih baik. Kemana? Ya..Dimana
bangsa ini mampu untuk memabawa masyarakat ke dalam jaman yang baik”
ujar Lek Man yang masih memasang wajah serius.
“kemana...
kemana... kemana..., seperti lagunya Ayu ting-ting aja lek!”
Guyonan Sugeng kemudian memecah suasana.
“yang
jelas lek... aku akan mendukung niat baik Lek Man itu, tapi kata
Bagas itu juga tak bisa disalahkan, korupsi model money
politic3
sudah
menjadi budaya di negri kita ini, budaya yang tak bisa di musnahkan”
lanjut Sugeng dengan wajahnya menahan kantuk.
Sugeng
wataknya memang ramah, dia mudah bergaul dengan siapapun, murah
senyum dan pandai menjaga perasaan. Ayahnya seorang carik4
yang
dulu sewaktu mau memperoleh jabatan itu juga membagi-bagikan uang ke
warga, mungkin karena sebab itu dia lebih condong membenarkan ucapan
Bagas.
Sementara
purnama gelap tertutup mega hitam, Agus malah sibuk menata pion-pion
caturnya, ia taruh pion-pion rakyat di barisan paling depan, satu
pion ia taruh satu kotak lebih depan, ia tak menoleh sedikitpun ke
wajah-wajah serius kita, justru asyik dengan papan caturnya.
“jalan
Lek!” sentaknya
“jalan
kemana Gus! Ke kursi DPD?” saut Lek Man
“Jalanin
tuh pionnya!” jawab Agus polos. Sontak kamipun tertawa bersama.
****
Mendung
telah menjadi gerimis, Lek Man menahan kebimbangannya, ia rabahkan
tubuhnya dalam pos rondan reot ini, berpayung jerami ia sembunyikan
tubuhnya dari serbuan gerimis yang semakin deras. Sugeng membereskan
gelas-gelas yang berisi ampas kopi, sebelum hujan kian menjadi,
kusempatkan menengok arloji yang melingkar di tangaku, 01:00. Lalu
kupandangi juga jam yang menepel di dinding pos .01:00 tepat.
“gong
!..” bunyi gong menggema, cukup ku pukul satu kali saja pertanda
sudah masuknya jam satu dini hari.
“
nggak ngrondan
nih?
“ tanyaku pada semuanya
“ngrondan
aja sendiri”
sahut Agus setelah merapikan papan caturnya. Kupandangi satu persatu
wajah teman-temanku,
“ujan-ujan
mau ngronda apaan
Fud” tegas Agus yang kemudian menyamankan posisi tidurnya.
****
Aku
lantas beranjak, menyibak gerimis tanpa berpayungkan sehelai daunpun.
Melangkah menitik setiap rumah-rumah barangkali ada keadaan darurat
sekalian melangkah pulang. Didalam sepi, otak dan hatiku saling
merembug, ada harapan sekaligus kekhawatiran, harapan akan hadirnya
Lek Manku yang benar-benar mampu menjadi wakil rakyat yang setulus
hati mengabdi untuk rakyat, serta kekhawatiran akan tumbuh suburnya
golongan Lek Man baru yang masih suka menaruhkan jabatan dan
kekuasaan semata-mata untuk alat pencetak uang.
Bunyi
jangkrik, belalang dan spesies lainnya menjadi sebuah irama merdu
untuk mengiringi kejamnya malam, gemericik gerimis rintik-rintik
menambah dinginnya gelap kala itu. Menjadi sebuah derita tersendiri
bagi petugas ronda ketika hujan begini, terpaksa mereka tetap harus
melawan dingin untuk tetap berjaga demi keamanan kampung. Padahal
setelah lewat tengah malam teman-temanku yang bertugas di pos ronda
pulas tidur, lupa dengan tanggung jawab sebagai penjaga kampung.
Mungkin hal seperti inilah yang terjadi di negri ini, Indonesia sudah
lama hidup seperti malam. Gelap. Deru masalah, seperti bencana alam,
kemiskinan, kelaparan,pendidikan dan kesehatan serta persoalan
lainnya seolah seperti gerimis yang menjadikan malam semakin kalut.
Dimana dalam keaadaan yang ironi itu tak membuat penjaga pos rondan
yang dalam artian penjaga negara bukan semakin kiat menjaga negara
melainkan malah semakin asyik memasang posisi paling nyaman buat
tidur. Ya mungkin seperti itulah gambaran kecilnya. Benakku .
“entahlah..”
Djombang,
12.06.2013 lewat
tengah malam
1.Gila
(jawa)
2
jamannya
sudah gila, kalu tidak ikut gila tidak kebagian ( pepatah jawa)
3
money
politic :
politik uang
4
carik
: sekretaris desa
Peacevirus
isme
adalah nama pena dari Ali Mahfud, lahir di Pati, 06 Mei 1994, anak
dari pasangan Bapak Alm. Sutimin dengan Ibu Musriah. Alumni dari MA
Khoiririyah Sitiluhur Pati dan sekarang sedang menempuh S1 di UNDAR
Jombang. Aktif sebagai divisi kaderisasi FLP Cabang Pati. Beberapa
tulisannya adalah “sakarotul maut” dalam Antalogi Merpati Putih
(Leutika Prio), Cara Tuhan Menyapa Dalam koran Kabar Pesisir,Belajar
dari Warung Kopi dalam Antalogi Bumi Senja di Hariku (Leutika Prio)
serta Kau dan Batikmu dalam Antalogi Muadzin Gunung Kendheng (Diandra
Creative).Selain aktif menulis, penulis juga hobi menularkan virus
perdamaian ke
seluruh penjuru dunia. Peace!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar