Senin, 05 Agustus 2013

CERPEN

SEBINGKAI LUKISAN KA'BAH
Oleh : Widiyanita Anggarva
Pengusa Malam perlahan merekahkan jubahnya di kanvas cakrawala dan hanya tertinggal siluet senja yang masih tersirat. Bulan perlahan mulai berpendar,bersamaan dengan semakin ramainya pujian mengema dari satu surau ke surau yg lainnya.
“Hmmm begitu indah dan damainya bulan Ramadhan itu.” Batinku, seraya menyusuri jalan setapak yang menghubungkan rumahku dengan jalan raya.
“Lho, tumben jam segini udah pulang, Nak?” tanya seorang ibu yang hendak bergegas ke surau di ujung jalan sana
“Ini bulan ramadhan, jadi stok dan jam malamnya di kurangi.” Ucapku dalam hati, karena tidak mungkin dengan gamblang aku mengatakanya.
“Iya, kebetulan kerjaan lagi tidak banyak, Bu. Jadi bisa pulang agak sore. Mangga, Bu. Izza duluan...” pamitku.
Malam mulai menguasai waktu. Ku pandang pantulan diriku di cermin, aku malu, ya aku malu! Begitu hinanya diriku. Bahkan tidak pantas lagi di sebut sebgai hamba Allah.
“Sudah jam dua pagi,” ucapku sambil melirik jam dinding yang terus berputar tanpa pernah mengeluh pusing sedikitpun. Perlahan ku tarik tirai kamar ibuku, dan memastikan bahwa ia sudah terlelap dalam buai mimpinya.
            “Ya Allah, penguasa yang mengatur seluruh jalannya hidup ini. Ampunnilah hamba jika sering melanggar kaidah agamamu. Illahi Robbi, izinkanlah hambamu ini menginjakkan tanah yang engkau sucikan. Sebelum akhirnya engkau memanggilku untuk kembali pada Mu. Amin ya robbal alamin.” Bulir-bulir airmata seketika mengelincir dari singahsananya. Hatiku begitu tergetar, mendenggar doa-doa itu terpanjatkan oleh perempuan yang menyimpan surgaku.
            “Kapan aku dapat mewujudkan keinginan, Ummi?” Batinku.
            “Lho, Izza belum tidur?” Tanya Ummi. Segera ku usap peluh air mata yang masih basah di pipiku.
            “Belum, Ummi. Tadi Izza harus menghitung stok barang untuk di stor besok,” jelasku yang tentu saja bohong.
            “Ya sudah. Sana istirahat!”
            Semalaman suntuk, mataku sulit untuk terpejam. Terus terbelalak menerawang langit-langit kamar yang hanya berupa genting tua. Aku baru sadar, ternyata aku tercipta hanya menyusahkan hidup Ummi. Aku tak pernah sadar betapa kerasnya Ummi membanting tulang demi hidupku. Tapi apa yang saat ini aku lakukan? Dan apa jadinya jika beliau mengetahui pekerjaanku sebagai kunang-kunang malam? Andai Ummi tau, apakah akan mengusirku? Atau langsung membunuhku?.
            Hatiku yang semula gundah, menjadi sedikit tenang ketika lantunan ayat suci Al Qur’an yang di bacakan Ummi, menyelusup lewat kedua telingaku. Hatiku seperti di selimuti kedamaian. Hingga perlahan kelopak mataku mulai terkatup dan buai mimpi telah mengelus jiwaku untuk turut menjelajahi dunianya.
***
            Hari ini aku harus berbohong lagi kepada Ummi. Ku cari alasan yang paling meyakinkan agar ia percaya. 
            “Enam bulan ke depan, Izza dapat sift malam terus, Mi.”
            “Iya, Iz. Ummi paham hal itu.” Lalu ku cium tangan wanita yang suci di depanku ini. Aku sebenarnya takut, takut sekali. Aku takut tanganku yang kotor ini menodai tanggan Ummi yang suci dan putih itu.
            Gemerlap lampu merah, kuning, hijau di depan lokalisasi telah menyambutku. Mungkin tak hanya lampu, tapi juga para laki-laki yang haus akan kasih sayang.
            “Baru datang, say…” ucap seorang laki-laki yang langsung merengkuh tubuhku dan menggandengku menuju sebuah kamar. Bau alkohol tercium dari mulutnya, dan aku tau inilah saatnya aku menjalankan tugas.
            “Puaskah dirimu telah menodaiku?” gumanku sambil memunguti baju yang berserakan di lantai. Ia hanya tersenyum seolah tak berdosa
            “Sembilan juta sudah cukup untuk hari ini.”  Lanjutku dan beranjak meninggalkan laki-laki jablay yang sedang terkapar di atas ranjang
Kini tugasku telah usai. Di sepanjang jalan raya, masih ku temukan para kunang kunang malam yang senasib denganku. Menanti dirinya untuk di paggil sebagai pemuas nafsu birahi dan sehabis itu di terlantarkan begitu saja. Hanya uang dan dosa yang tertinggal di samping raga tak berdaya. Aku tahu benar, bukan ini jalan dan pilihan yang kita mau.
Semilir angin malam perlahan mempermainkan helai demi helai rambutku. Bulan benderang masih terlihat menemani setiap langkahku, berarti ini belum saatnya aku untuk pulang.
Bangku taman dengan sedikit pantulan cahaya lampu kota seperti melambai-lambai ke arahku, mengajakku untuk sejenak duduk dan menemaninya.
“Hasil tes laboraturium tadi pagi belum aku baca, kira-kira isinya apa ya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Perlahan ku buka amplop berwarna coklat, ku ambil lembaran kertas yang kop suratnya bertuliskan laboraturium “Kencana”
“JEDUEERRR!” Petir serasa menyambar hati dan menghunus nadi, ketika ku baca tulisan yang mennyatakan aku positiv terjangkit virus HIV. Airmata seketika meleleh bak lilin yang terbakar api. Mata ini sudah tak kuasa membendungnya ketika menyaksikan sendiri apa yang telah tertera dalam secarik kertas itu.
“Apa ini karma darimu, Tuhan?” Tanyaku kepada sang illahi robbi
“Aku akan ikhlas menerima ini semua. Aku memang pantas untuk mendapatkan azab dari-Mu. Entahlah, sampai kapan aku bisa bertahan hidup dan terus bersanding dengan penyakit yang engkau karuniakan ini, Tuhan...” Ratapanku di sela-sela isak tangis yang tak kunjung mereda.
“Kenapa kamu baru menyesalinya hari ini?” hatiku turut memarahi.
“Berarti, salah satu cara menyadarkanmu adalah dengan di uji terlebih dahulu! Apa kamu tidak kasihan sama dirimu sendiri? Apa kamu tidak kasihan jika berita ini terdengar oleh ibumu?” Lanjutnya menghakimiku.
“Sudah! Cukup hentikan!” Ku maki diriku sendiri.
“Aku sadar aku salah! Biar ku tanggung ini sendiri! Jika saat ini dan detik ini  Allah mengambil nyawaku, aku ikhlas kembali kepada-Nya. Aku akan pertanggung jawabkan semua kelakuanku ini.”  
***
Semakin hari berat badanku semakin menurun, lekuk tubuh yang dulu sering di kagumi dan di puja-puja kaum Adam tak terlihat lagi. Demam terus menemani hari-hariku dan kini tumbuh beberapa benjolan yang begitu sakit di bagian tubuhku. Begitu sakitnya, hingga aku tak tau mana yang harus aku keluhkan. Jika Ummi sosok yang paling aku cintai bertanya tentang apa yang terjadi denganku, aku hanya menjawab, “Mungkin ini hanya demam dan benjolan biasa, Mi! ngak usah khawatir, seminggu lagi juga sembuh.” Setelah aku berkata seperti itu, Ummi pasti akan langsung percaya.
Hari ini aku memilih untuk beristirahat sejenak. Ku temani Ummi menjahit sebuah gammis berwarna hijau dengan bordiran bunga di sekitar lengan dan leher. Cantik sekali.
“Bajunya bagus sekali, Mi?” tanyaku.
“Baju ini adalah baju termahal yang pernah Ummi buat. Ini pesanan khusus untuk seseorang yang istimewa.”
“Orang yang memiliki baju ini pasti orang kaya kan, Mi?” aku kembali bertanya.
“Tidak juga…” jawab Ummi dengan sedikit menyunggingkan sebuah senyum. Senyum yang begitu ikhlas. Aku bangga mempunyai seorang ibu sepertinya. Cantik, solehah, setia pada suami walaupun telah tiada, ialah orang yang melahirkan dan mengizinkan rahimnya untuk aku huni selama sembialn bulan. Tapi sekarang apa balasanku untuknya?
“Eh..., awan-awan kok ngelamun? Mengko kesambet lo!” Aku baru tersadar jika sedari tadi aku terus melamun.
“Ummi itu ada-ada saja. Izza mau izin keluar sebentar, Mi!
            “Kamu yakin udah merasa baikan? Kalau iya Ummi izinin kamu pergi.” Aku hanya menjawabnya dengan menganggukan kepala.
            “Mana mungkin uang haram yang aku dapatkan selama ini halal di gunakan untuk naik haji Ummi? Aku benar-benar sudah tidak berguna!” Ucapku dalam hati
            Panas matahari serasa kian memecah ubun-ubunku. Aku juga bingung, kemana langkah kaki ini akan membawaku. Pandangan yang sedari tadi lurus ke depan, berhasil tersita oleh sebuah toko ukiran di seberang jalan.
“Sebingkai lukisan ka’bah yang indah...,” gumanku.
Mungkin inilah yang dapat aku berikan untuk Ummi, dengan uang halal yang ku kumpulkan sewaktu SMA. Sebelum Allah mengambil nyawa yang sudah Sembilan belas tahun bersemayan di ragaku, aku ingin melihat Ummi tersenyum atas pemberianku. Malam ini juga akan ku serahkan lukisan ka’bah ini kepada Ummi.
            “Sudah lama Ummi tidak berjamaah denganmu, Nduk. Sekarang kita sholat maghrib berjamaah yuk!” Perintah Ummi.
Memang sudah lama aku meninggalkan perintah agamamku. Ummi dengan setianya terus mengingatkan, tapi setan sepertinya selalu menang. Untuk kali ini, aku tidak akan membiarkan hal itu terulang kembali. Lalu ku sucikan kembali tubuhku dengan baris-baris doa. Mukena yang ku gunakan sampai basah oleh air mata. Damai mulai menyelimuti hatiku.
Semalam Belum sempat ku serahkan langsung lukisan ka’bah itu kepada Ummi, karena aku begitu menikmati kedektanku dengaan Tuhan. “Wajah Ummi teduh sekali pagi ini.” Gumanku, tak sabar lagi untuk memberikan lukisan ini padanya.
Baru sejengkal ku langkahkan kaki ini, pandanganku begitu tersita oleh gamis yang kemarin aku tanyakan ke Ummi.
“Izza? Kenapa di gamis ini terajut namaku? Ini buat Izza, Ummi?” tanyaku. Akupun hanya tertawa, melihat kekonyolan yang ku perbuat. “Orang tidur kok tak ajak ngomong...”
Lalu ku dekati Ummi, membangunkannya dengan perlahan. Aku ingin melihatnya tersenyum bangga dengan pemberianku ini.
“Ummi... ayo bangun....” ini kesekian kalinya aku membangunkan Ummi tanpa ada respon sedikitpun.
“Ummi....” ku coba sekali lagi.
Pikiranku menjadi kalut, tanganku gemetar mengenggam tangan orang yang paling aku cintai telah dingin tak bernyawa lagi. 
“Ya Allah..., kenapa engkau tak mengizinkan aku untuk sebentar saja membahagiakan orang yang paling aku sayang?” ucapku bersamaan denganisak tangis yang tak kunjung reda. 
Kini aku hanya sendirian menikati rasa sakitku, yang kian hari kian mendekatkan aku kembali kepadaNya.*****
Biodata
            Widiyanita Anggarva, lahir di Pati, September 1995. Redaktur Rumah tinta Pati. Menyukai menulis sebagai wujud ekspresi jiwanya. email :widyyapathie@yahoo.co.id/
 Diterbitkan di Koran Jateng Pos.







Kamis, 27 Juni 2013

Puisi

SOSOK

Aku tak tahu kau itu siapa
bahkan aku tak tahu sosokmu seperti apa dan bagaimana

aku hanya bisa melukismu
dalam bayang semu
dalam ragu hatiku

dan sesekali berharap lukisan itu menjadi nyata
seperti sosok bidadari dalam syurga
seperti indahnya anganku tentang cinta


#oh my dream. . 

CERPEN

Lek Man Mau Nyalon...
Oleh : Peacevirus Isme

Gendheng1 kamu lek! Sekarang tuh jaman edan, nek gak melu edan ora kedhuman 2 lha wong Pilkades aja bagi-bagi duit kok, masak mau nyalon dewan gak bagiin duit, mana mungkin jadi!” cerocos Bagas begitu saja, dia lantas menarik kembali sarung kumelnya. Disebelahnya Lek Man tenang, entah memikirkan mau melangkah kemana, dia mengusap rambutnya “skak!” teriaknya, “sekak mat” tawanya lepas menorehkan penghinaan pada Agus.
Koran bekas bungkus gorengan yang sedari tadi dibaca Sugeng tergeletak tertulis besar dalam koran itu “Indonesia Krisis Pemimpin”. Aku kemudian membidik mata rekan satu kampusku itu, “ngantuk Geng?” tanyaku. “bukan jamannya yang edan Gas! Tapi kau yang edan! Orang sudah benar-benar memikir masa depan kok kamu edan-edankan!” Sugeng menyambung. malam semakin larut, wajah kamipun semakin mengeriput.
Aku menyuruput kembali kopiku, “sruut” nikmat sekali. Bulan berbinar, purnama yang malam itu berpidar menerangi sudut-sudut kegelapan. “bagaimana menurut kamu Fud?” tatapan Lek Man mengarah padaku, sambil sedikit mengangkat kepalanya. “bagaimana apanya Lek?” tanggapku. “ya, tentang rencana pencalonanku menjadi anggota dewan itu lho Fud!” kali ini Lek Man memasang muka serius. Aku diam.
****
menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, membangun negara itu tak semudah menyeduh kopi lek! Yang tinggal mengira-kira kopi dan gulanya, lalu tambahkan air panas, diaduk lalu jadilah negara yang tentram, aman dan damai. Semua itukan ada hitungannya, bukan sekadar dua sendok gula dan satu sendok kopi untuk seratus mili air panas, tapi hitung-hitungan yang panjang, hitungan rumit dan hitungan yang matang. Rakyat sudah bosan dengan janji-janji para wakil rakyat yang tak pernah ditepati” aku ikut urun rembug.
Mahfud munafik, sok tau kamu! Itukan karena kamu selalu susah payah buat bayar kost mu! Coba jika kamu tinggal duduk-duduk di bangku dewan, pekerjaanmu tinggal sidang ini-itu di gaji besar pula, kamu mungkin akan lupa dengan amanah sesungguhnya. Pokoknya penguasa segalanya adalah uang Fud! Semua dapat di bayar dengan uang!” Sanggah Bagas dari balik sarungnya.
semua orang kalau masih susah ya ngomong yang baik-baik, coba saja kalau sudah sukses atau menjadi orang kaya, dia bakalan lupa dengan semua tanggung jawabnya” lanjut Bagas.
Bagas memang orang yang kolot, kaku dan tak kenal perubahan. Dalam setiap argumennya, dia tak pernah melepaskan kekuatan uang yang sebagai pokok dari segalanya, mungkin karena ia pernah gagal nyalon polisi setelah memasukkan uang dua ratus juta, padahal dia sudah lulus atas semua tesnya tapi tetap gagal, saat kutanya kenapa, namaku di tembak 250 juta oleh orang lain jawabnya.
ya..itu yang mau kulakukan Fud, aku ingin membuktikan bahwa diriku mampu membawa daerah kita ini kearah yang lebih baik. Kemana? Ya..Dimana bangsa ini mampu untuk memabawa masyarakat ke dalam jaman yang baik” ujar Lek Man yang masih memasang wajah serius.
kemana... kemana... kemana..., seperti lagunya Ayu ting-ting aja lek!” Guyonan Sugeng kemudian memecah suasana.
yang jelas lek... aku akan mendukung niat baik Lek Man itu, tapi kata Bagas itu juga tak bisa disalahkan, korupsi model money politic3 sudah menjadi budaya di negri kita ini, budaya yang tak bisa di musnahkan” lanjut Sugeng dengan wajahnya menahan kantuk.
Sugeng wataknya memang ramah, dia mudah bergaul dengan siapapun, murah senyum dan pandai menjaga perasaan. Ayahnya seorang carik4 yang dulu sewaktu mau memperoleh jabatan itu juga membagi-bagikan uang ke warga, mungkin karena sebab itu dia lebih condong membenarkan ucapan Bagas.
Sementara purnama gelap tertutup mega hitam, Agus malah sibuk menata pion-pion caturnya, ia taruh pion-pion rakyat di barisan paling depan, satu pion ia taruh satu kotak lebih depan, ia tak menoleh sedikitpun ke wajah-wajah serius kita, justru asyik dengan papan caturnya.
jalan Lek!” sentaknya
jalan kemana Gus! Ke kursi DPD?” saut Lek Man
Jalanin tuh pionnya!” jawab Agus polos. Sontak kamipun tertawa bersama.
****
Mendung telah menjadi gerimis, Lek Man menahan kebimbangannya, ia rabahkan tubuhnya dalam pos rondan reot ini, berpayung jerami ia sembunyikan tubuhnya dari serbuan gerimis yang semakin deras. Sugeng membereskan gelas-gelas yang berisi ampas kopi, sebelum hujan kian menjadi, kusempatkan menengok arloji yang melingkar di tangaku, 01:00. Lalu kupandangi juga jam yang menepel di dinding pos .01:00 tepat.
gong !..” bunyi gong menggema, cukup ku pukul satu kali saja pertanda sudah masuknya jam satu dini hari.
nggak ngrondan nih? “ tanyaku pada semuanya
ngrondan aja sendiri” sahut Agus setelah merapikan papan caturnya. Kupandangi satu persatu wajah teman-temanku,
ujan-ujan mau ngronda apaan Fud” tegas Agus yang kemudian menyamankan posisi tidurnya.
****
Aku lantas beranjak, menyibak gerimis tanpa berpayungkan sehelai daunpun. Melangkah menitik setiap rumah-rumah barangkali ada keadaan darurat sekalian melangkah pulang. Didalam sepi, otak dan hatiku saling merembug, ada harapan sekaligus kekhawatiran, harapan akan hadirnya Lek Manku yang benar-benar mampu menjadi wakil rakyat yang setulus hati mengabdi untuk rakyat, serta kekhawatiran akan tumbuh suburnya golongan Lek Man baru yang masih suka menaruhkan jabatan dan kekuasaan semata-mata untuk alat pencetak uang.
Bunyi jangkrik, belalang dan spesies lainnya menjadi sebuah irama merdu untuk mengiringi kejamnya malam, gemericik gerimis rintik-rintik menambah dinginnya gelap kala itu. Menjadi sebuah derita tersendiri bagi petugas ronda ketika hujan begini, terpaksa mereka tetap harus melawan dingin untuk tetap berjaga demi keamanan kampung. Padahal setelah lewat tengah malam teman-temanku yang bertugas di pos ronda pulas tidur, lupa dengan tanggung jawab sebagai penjaga kampung. Mungkin hal seperti inilah yang terjadi di negri ini, Indonesia sudah lama hidup seperti malam. Gelap. Deru masalah, seperti bencana alam, kemiskinan, kelaparan,pendidikan dan kesehatan serta persoalan lainnya seolah seperti gerimis yang menjadikan malam semakin kalut. Dimana dalam keaadaan yang ironi itu tak membuat penjaga pos rondan yang dalam artian penjaga negara bukan semakin kiat menjaga negara melainkan malah semakin asyik memasang posisi paling nyaman buat tidur. Ya mungkin seperti itulah gambaran kecilnya. Benakku . “entahlah..”

Djombang,
12.06.2013 lewat tengah malam
1.Gila (jawa)
2 jamannya sudah gila, kalu tidak ikut gila tidak kebagian ( pepatah jawa)
3 money politic : politik uang
4 carik : sekretaris desa

Peacevirus isme adalah nama pena dari Ali Mahfud, lahir di Pati, 06 Mei 1994, anak dari pasangan Bapak Alm. Sutimin dengan Ibu Musriah. Alumni dari MA Khoiririyah Sitiluhur Pati dan sekarang sedang menempuh S1 di UNDAR Jombang. Aktif sebagai divisi kaderisasi FLP Cabang Pati. Beberapa tulisannya adalah “sakarotul maut” dalam Antalogi Merpati Putih (Leutika Prio), Cara Tuhan Menyapa Dalam koran Kabar Pesisir,Belajar dari Warung Kopi dalam Antalogi Bumi Senja di Hariku (Leutika Prio) serta Kau dan Batikmu dalam Antalogi Muadzin Gunung Kendheng (Diandra Creative).Selain aktif menulis, penulis juga hobi menularkan virus perdamaian ke seluruh penjuru dunia. Peace!

Kamis, 13 Juni 2013

CERPEN


Di ranah kehidupan yang serba modern ini,   tak menutup kemungkinan dunia ghaib ikut berorientasi di dalamnya, sebagai muslim kita hendaknya mempercayai keberadaannya. Tetap jaga hati dan bentengi diri dengan memperbanyak ibadah.
Dia ‘Hawa’ku

(Aku Khitbah Engkau dengan Khataman Al-Qur’an)

            Hawa, gadis cantik nan anggun berparas elok bak titisan bidadari ini membuat semua mata terpukau oleh sinarnya. Mentari pun iri dengan sinar yang dimiliki oleh peri tak bersayap ini. Dara yang menginjak usianya yang ke 17 tahun ini bagai bunga yang baru mekar dengan sempurna. Kini dia duduk di kelas Sembilan, walaupun dia bersekolah di SMA tapi dia tak pernah meninggalkan jilbab suci yang menyelimuti rambut indahnya. Jilbab itu dikenakan bukan karena medis, yang mengharuskan dia memakai jilbab karena suatu penyakit di kepala, bukan juga karena modis atau pun akademis, namun karena kewajibannya sebagai seorang muslim yang harus menutup auratnya. Walaupun dia bukan keturunan kyai, namun dia selalu menjujung tinggi nilai agama. Nilai agama ia peroleh dari guru agama di sekolah juga dari guru ngajinya yang menganak emaskan dia karena kepandaian dan kecerdasannya.
            Banyak teman yang menyukainya, bukan hanya lawan jenis, teman-teman wanita juga menyukainya karena kesederhanaan dan kebaikannya.  Terlebih teman laki-laki, banyak yang menyukai dan mencoba mendekatinya, namun belum ada yang bisa mencuri hatinya. Tak semudah yang mereka bayangkan, mendapatkan hati Hawa bagaikan menunggu hujan di gurun pasir. Bukan maksudnya untuk pilih-pilih teman lelaki, tapi dia menginginkan teman lelaki seperti yang di inginkan ayahnya. Walaupun baru kelas Sembilan, tapi kebiasan orang desa untuk menikahkan anaknya setelah lulus SMA sukar untuk dimusnahkan. Maka dia mencari teman lelaki bukan untuk main-main, tetapi untuk dijadikan pendamping hidupnya kelak.
            Tak bisa  mengingkari kepatuhan terhadap orang tuanya, dia selalu menjunjung tinggi ucapan dan keputusan orang tuanya, telebih sang ayah yang menginginkan seorang menantu yang hafidz (hafal Al-qur’an 30 juz). Faktor itulah yang melatar belakangi Hawa untuk menemukan dambaan hati yang hafidz. Hawa menyayangi keluarganya lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri. Sempat dia tertarik kepada teman sekelasnya, namun tak pernah ia tunjukan meski melalui isyarat mata sekalipun. Matanya tak mampu berbicara untuk mengungkapkan isi hati, karena kepatuhan terhadap sang ayah yang diidolakannya.
            Hari itu, ketika perpisahan sekolah suasana hati Hawa nano-nano rasanya, senang, bahagia, sedih, mix pengen cucurkan air mata. Tak tau gerangan yang mengganjal dan bergejolak di hatinya, namun kesedihan itu semakin mendera. 
           “Hawa...”, suara mengejutkan datang dari arah belakang tempat dia duduk.
           “Hem, iya, iya, iya”, sahutnya terbata-bata karena kaget. Seorang lelaki tampan berdiri di hadapannya sembari suguhkan senyum hangat damaikan jiwa. 
           “Owh, Farid to, mengagetkanku saja”. Kata Hawa dengan balasan senyum yang tak kalah hangat.  
           “Kenapa kamu duduk sendiri di sini, Wa? Tak inginkah kau berfoto-foto ria dengan teman-temanmu?” Tanya Farid. 
           “Iya, aku bingung, semestinya harus senang atau sedih?” kata Hawa, kembali bertanya. 
           “Tak perlu kau berbingung di sini, ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan sebaliknya. Jika tak ada pertemuan maka tak ada perpisahan, kalau waktunya senang engkau malah bersedih, apalagi diwaktu sedih, kesedihanmu akan bertambah, lalu kapan waktunya kau bersenang-senang, nikmati saja hari ini. Bukankah harus begitu?” Ujar Farid dengan memegang tangan Hawa namun segera ia lepaskan. 
            “Ehm,,” sahut Hawa sambil anggukkan kepala, dalam hati ia berbisik, Farid yang terkenal anak paling nakal, bisa disebut brandal sekolahan, tukang bikin rusuh bisa melontarkan kata yang membuat si cantik Hawa kikuk. 
            “Kenapa bengong? Oh ya, ini hadiah kecil dariku, bukankah kau suka dengan warna hijau, warna surga bukan? Kamu boleh membukanya ketika di rumah. Tak begitu bernilai, tapi aku harap engkau menyukainya. Aku pergi dulu, semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali dalam keadaan yang baik tentunya”, pamit Farid. Hawa terus menerima pemberian Farid masih dalam kondisi kikuk sembari menatap langkah kepergian Farid, lelaki pertama yang memegang tangannya.
            Tak berlama-lama ia melambungkan lamunannya, ia segera memasukkan kotak kecil berwarna hijau muda cantik dengan hiasan sederhana dan bergegas untuk berkumpul dengan teman-temannya. Seketika perasaannya berubah membaik setelah mendengar rangkaian kata dari Farid.  Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa isi dari kotak indah itu, namun dia tak dapat membukanya disini. Tak sabar ingin segera melihat isi dari hadiah tersebut, ia segera pulang ke rumah, bersalaman dengan orang tua kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Perlahan ia mengeluarkan kotak indah itu mencermati dan ketika hendak mulai membuka tiba-tiba ayahnya memanggilnya, reflek dia melempar kotak itu kebawah ranjang dan segera menemui ayahnya.
            Ayahnya mengapresiasi prestasi yang diperoleh karena menjadi lulusan terbaik tahun ini. Ayahnya mengajak sekeluarga liburan ke tempat kakeknya di puncak. Di tempat kakeknya sangat asri dan nyaman, ia sangat senang berada di sana, hingga ia melupakan kado kecil dari Farid. Sekalipun ia pernah teringat, namun ia lupa dimana ia menaruh kotak itu. Terkadang ia menyesali karena lupa dimana ia menaruh kotak itu, seandainya saja kalau dia tau Farid bakal pergi dari desa itu dia tak akan menyia-nyiakan kado pertamanya. Tak tau apa yang harus dia lakukan, dia benar-benar tak mengingatnya, hingga dia jenuh dan tak lagi mencoba mengingat.
            Banyak lelaki yang datang ke rumah Hawa untuk mengkhitbahnya, tapi tak satu pun yang diterima.  Hingga suatu hari, seorang pria bersama keluarga berkunjung ke rumah Hawa untuk mengkhitbahnya. Irul, dia anak dari salah satu orang terkaya di desanya. Sudah lama Irul menyukai Hawa, dan berencana menikahinya setelah Hawa lulus SMA. Dari kecil apa yang diinginkan Irul selalu terpenuhi, hari ini dia ingin melamar Hawa, dan bagaimana pun caranya, keinginannya harus terpenuhi untuk menikahi Hawa. Namun kali ini Sang Kuasa tak meridhainya, Hawa tidak bisa menerimanya begitu saja, hatinya selalu bergejolak kepada seorang lelaki yang sudah lama singgah di hatinya. Tak tau apa yang membuatnya tak bisa melupakan lelaki itu, padahal lelaki itu tidaklah lelaki yang baik. Dengan dirundung rasa kecewa, Irul dan keluarga pun pulang. Pamitan.
            Seakan tak terima dengan kenyataan yang di terimanya hari ini, Irul terus memutar otaknya mencari ide untuk bisa mendapatkan Hawa. Terbesit ide nista yang terbaca dari otaknya untuk menemui dukun di desa seberang. Dukun itu di juluki  Mbah Geni yang terkenal kesaktian di kalangan perdukunan, walaupun dia tak pernah pergi kesana tapi dia tahu dari teman-temannya yang pernah meminta bantuan dan selalu berhasil.
            Tak pikir panjang karena cinta butanya terhadap Hawa, Irul pun pergi ke rumah Mah Geni bersama temannya bernama Dani yang pernah membuktikan  kesaktian Mbah Geni. Sedikit terlihat khayal dengan hal-hal mistis seperti ini, tapi memang begitu adanya. Sesampainya di sana, bulu kuduknya berdiri, rumahnya terlihat menyeramkan, tapi ia memberanikan diri untuk masuk demi keinginannya. Ia bertemu dengan Mbah Geni. Tanpa mengutarakan maksudnya, Mbah Geni telah mengetahui maksud kedatangannya. Tak berlama-lama ia pun kembali ke rumah dan menunggu hasil ikhtiarnya yang tak wajar.
            Sejak hari itu, setiap malam  rumah Hawa selalu disatroni burung hantu. Namun siapa sangka, Si cantik Hawa tak mempan untuk diguna-guna atau pun dipelet. Ia rajin beribadah, tak hanya itu, ia juga dibekali oleh Kyai sekaligus guru ngajinya dengan doa-doa tolak balak. Hingga Allah SWT juga senantiasa menjaga Hawa.
            Walaupun demikian, Irul tak mau berputus asa, terus saja ia menemui Mbah Geni dan meminta bantuan. Memang akal licik dan jahat, selalu saja dukun laknat itu mendapatkan ide busuk. Ia mengincar Hawa ketika Hawa sedang dalam keadaan tidak suci, yaitu pada saat menstruasi. Di saat seperti itulah orang mudah untuk disinggahi bangsa halus. Namun kali ini berbeda dengan tujuan utama, Irul menginginkan hal yang berbeda, membuat Hawa tidak ada yang menyukai lagi, hingga hanya dirinyalah yang menyukainya, setelah menikah, Irul mengembalikan Hawa seperti semula, itulah keinginan picik dari Irul.
            Malam itu, tepat hari lahir Hawa, jum’at kliwon, juga tepat dimana dia haid (menstruasi). Memang Hawa sangat pelupa, dia melupakan amalannya yang harus dibaca dalam hati ketika haid. Tepat jarum jam menunjukkan pukul 12 malam, terdengar hujan lebat dibalik dinding dan gemuruh angin yang dahsyat. Terdengar pula suara-suara aneh yang menyeramkan, ia memanggil-manggil ayah dan ibunya, namun tak ada feedback. Akhirnya ia mencoba untuk memejamkan matanya, namun tiba-tiba ada sesuatu yang berjalan di balik jendela dengan mengeluarkan suara aneh, walau bertambah ketakutan, namun ia tak mau mengganggu istirahat orang tuanya. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali menurunkan kelopak matanya.
             "Shiiuuuuuuutttt…..", dalam terdengar dekat sekali dengan telinganya, tiba-tiba ada burung hantu yang masuk ke dalam kamarnya dari arah yang tak diketahui, padahal tak ada celah yang sekiranya dapat dilewati oleh burung hantu sebesar itu. Kemudian dilihatnya banyak sekali penampakan di kamarnya dengan wajah yang menyeramkan seketika burung hantu tersebut menyambar matanya dan Hawa pun pingsan.
            Pagi harinya, orang tua Hawa bingung dan merasa aneh, karena tak biasanya anak perempuan semata wayangnya tidur sepulas itu hingga belum bangun sampai siang ini. Ibu Hawa segera menghampiri Hawa ke kamarnya, terkaget melihat anak tersayangnya tergeletak di lantai.  
             “Ayah,,,ayah,, anak kita, yah”, teriak ibunya histeris. 
             “Ada apa buk?” Tanya ayahnya tergesa-gesa menuju kamar Hawa, seketika kaget melihat anaknya pingsan, karena sebelumnya Hawa tak pernah pingsan. Dengan sigap ayah Hawa menggendongnya ke atas ranjang, dan membangunkannya. Alhamdulillah, tak berapa lama Hawa sadar, namun hal yang paling mengejutkan. Hawa tak bisa melihat sama sekali. Orang tuanya menangis tersedu-sedu melihat anaknya yang tak bisa melihat seperti semalam.
            Orang tuanya membawanya ke rumah sakit untuk periksa, akan tetapi dokter tak dapat melihat penyebab dari kebutaannya. Hingga dokter menyarankan untuk membawa Hawa periksa ke luar negeri, tapi Hawa menolak karena biaya untuk menjalaninya tak mungkin dijangkau dengan keadaan orang tuanya sekarang ini. Akhirnya dia pun memutuskan untuk tetap berdiam dalam kebutaannya.
            Berkali-kali Irul dan keluarga datang kembali untuk mengkhitbah Hawa, namun lagi-lagi Hawa menolaknya. Di dalam kegelapan yang dialaminya setiap hari, hanya satu lelaki yang dapat di lihat dalam kebutaannya. Keceriannya yang menjadi sinar di rumah tercinta berubah menjadi mendung yang bergelanyut, matanya yang indah terlihat cekung. Wajahnya pun tak menampakkan gairah hidup, meskipun ia mencintai lelaki itu, tetapi ia tak pernah yakin bisa bertemu kembali, apalagi dengan keadaannya yang seperti ini. 
****
            Empat tahun berlalu dengan suram, Hawa menghabiskan hari-harinya dengan berdiam diri di kamar hanya untuk menangis. Suatu ketika ia menyisir rambutnya dan tidak disengaja sisirnya terjatuh, dia berusaha untuk mengambilnya, Ibunya yang memandanginya di pintu membantu untuk mengambil sisir, tetapi ibunya menemukan kotak kecil lusuh penuh debu. Di ambilnya kotak tersebut dan dibersihkan. 
           “Ibu, mana sisirnya?” Tanya Hawa. 
            “Sebentar nak, ibu menemukan kotak kecil lusuh berwarna hijau, apa ini milikmu?” Tanya ibunya. Tak pikir lama, Hawa langsung ingat dengan kotak kecil pemberian Farid. Segera Hawa mengambil kotak itu dan membukanya, ternyata yang membuatnya penasaran selama ini adalah lonceng cantik berbahan gelas bening bermotif  bunga dan bulu yang indah. Terdapat secarik kertas berwarna hijau pula, Hawa ingin ibunya membacakan untuknya.
Assalamu’alaikum Hawa….
            Tak tau dari mana aku memulainya, aku juga tak pernah tau kenapa aku yang brandalan dan bringasan ini berubah menjadi pecundang yang kikuk ketika berhadapan dengan bidadari kesayangan Allah SWT. Hhmm…tak berani aku angkat bicara dihadapanmu. Kau begitu indah, sinarmu silaukan mata ini hingga aku tertunduk kala bertatap muka denganmu. Bertemu denganmu memiliki ‘hawa’ tersendiri, sejak pertama kali bertemu ketika kita SMP, hati ini telah tertunduk padamu. Karenamu aku menundukkan pandangan ini terhadap yang lain.
            Bahkan mutiara hitam pun tak pantas bersanding denganmu. Apalagi aku seoarang brandal sekolah yang keras kepala dengan posisinya yang salah. Aku kira dengan aku yang sok jagoan aku bisa menarik perhatianmu, tapi aku salah besar. Ketika aku mendengar bahwa kau menginginkan seorang hafidz untuk jadi kekasihmu, aku benar-benar terbungkam dan aku malah semakin menjadi anak yang nakal. Pernah dulu aku di hukum di lapangan, berdiri dengan satu kaki dan menghisap sepuluh rokok sekaligus gara-gara aku merokok di waktu kosong, aku sempat melihat kau menangis. GeEr-nya aku mengira kau menangisiku. Tapi tak mungkin.
            Aku beri benda sederhana ini untukmu, kau wanita pertama yang membunyikan lonceng di jantungku, aku berharap kau senantiasa mengingatku kala mendengar  nyanyian dari lonceng itu, lonceng itu akan menemani dan menjagamu untuk menggantikan aku.
            Hawa, perlu kamu ketahui, berapa banyak nyali yang harus aku kumpulkan untuk menulis ini, dan memberikannya padamu. Kali ini aku akan benar-benar mengumpulkan nyali itu untuk kembali padamu. Aku akan pergi dalam beberapa tahun kedepan, maaf aku tak mampu berpamitan langsung, karena inilah caraku. Aku pasti kembali dengan keadaan yang jauh lebih baik dari yang sekarang ini. Aku harap kau bersedia menantiku. Banyak kisah tentangmu yang tak mungkin aku tulis semua, cukup aku simpan dalam sanubari. Bahwa kaulah yang terindah.
            Baru ini yang dapat aku sampaikan padamu, maaf tulisannya dan bahasanya semprawut seperti hidupku…. Heheee.. Jaga dirimu baik-baik wahai titisan Bidadari. Wassalamu’alaikum….
Farid.

             Hawa mendengar dengan khidmat seraya meraba lonceng dengan cermat, menganalisis setiap lekuknya, tak dirasa air matanya jatuh perlahan lewati pipi halusnya yang terlihat tak terawat lagi. 
            “Apakah lelaki ini yang membuatmu menolak semua lamaran yang datang?” Tanya ibunya sembari mengusap air mata buah hatinya. 
           “Bukan Ibu”, jawab Hawa.
           “Lalu, apa arti air mata ini nak..??” Ibunya kembali bertanya. 
           “Aku cuma bersedih, apakah masih ada lelaki yang mencintaiku dengan tulus setelah melihat keadaanku yang seperti ini?” rintih Hawa. 
           “Allah Maha adil nak, pada zaman azali Allah SWT telah menyandingkanmu dengan jodohmu, percayalah bahwa kau bagian dari tulang rusuk pasanganmu, dia akan datang dengan segala ketulusannya dan tak mungkin tertukar”. Jawab sang Ibu sembari membelai rambut indah Hawa. Hawa pun mengangguk faham.
            Semenjak kebutaannya Hawa tak pernah lagi mau bergaul dengan temannya, ia masih terpukul dengan musibah yang di terimanya. Baru setelah ia mendengar surat dari Farid ia mau belajar huruf braile. Teman dekatnya, Si Fira dengan senang hati mengantar Hawa untuk belajar huruf braile dan menemani kemanapun Hawa hendak pergi.
            Waktupun berjalan secepat jarum jam berputar. Malam, pagi, siang, senja, Hawa terus belajar dan tak lupa berdoa. Satu bulan, dua bulan, satu tahun, hingga bertahun-tahun tak lupa belajar dan berdo'a. 
***
            Empat tahun berlalu, Farid kembali ke desa tercintanya dengan perubahan yang luar biasa. Dulu dia yang terkenal brandal jalanan, biang kerok sekolahan, sekarang dia pulang membawa 30 juz Al-Qur’an di luar kepala. Namun terkaget bukan kepalang kala ia melihat dari jauh, Hawa yang berdiri dengan sebatang tongkat, cahaya di dirinya yang redup. Bagai berlian yang kehilangan sinarnya. Tak kuasa melihat wanita yang dipujanya menderita, ia pun teteskan air mata. 
           “Hawa” terdengar suara parau yang tak asing lagi di telinga Hawa.
           “Farid kah itu?” Tanya Hawa penasaran. 
           “iya Hawa, aku Farid. Namun aku bukan Farid Si biang kerok SMA, aku kembali dengan yang jauh lebih baik seperti yang ku janjikan padamu”. Jawab Farid. 
           “Iya kah? Bagaimana kuliahmu, aku dengar kau telah wisuda kemarin, apakah kau banyak berubah?” celoteh Hawa penuh pertanyaan. 
           “Iya, aku banyak berubah, aku bukan Farid yang ingusan nan brandalan lagi. Namun hati tak berubah untukmu Hawa” jawab Farid. 
           “Hmm,,, kau pandai bicara sekarang, tapi sayang aku tak bisa ngobrol lebih lama denganmu, aku harus pergi sekarang.” Hawa berusaha mengalihkan pembicaraan dan beranjak bersama Fira.
            Di perjalanan Fira bertanya mengapa Hawa menghindar dari Farid, lagi-lagi jawaban yang sama di lontarkan si cantik ini, ‘minder’. Ia merasa tak pantas berhadapan dengan Farid dengan keadaan seperti ini apalagi mendengar semua perubahan Farid yang sempat gemparkan semua orang yang hidup di masa lalunya. Hawa senang atas kembalinya Farid, tapi dibalik rasa senangnya terdapat kesedihan yang mencekam jiwa hingga mati rasa untuk menikmati kegembiraan.
            Hampir setiap pagi Farid kirimkan tulisan dengan huruf braile kepada Hawa, dengan semangat Farid juga mempelajari braile. Salah satu isi dari kertas paginya adalah:
Semut cantik..
            Merayaplah di tubuhnya, katakan padanya tentang rasa sayangku yang tulus padanya. Tapi kamu jangan iri dengan kecantikannya yang tundukan jagad, jangan kau rusak kulitnya yang lembut dengan gigitanmu. Dia Peri tanpa sayap yang mampu menerbangkan khayalanku. Ucapkan sapaan selamat pagi juga  untuknya, “Met pagi Princess Hawa”. Setelah tugasmu selesai cepet kembali ya semut. Kalau kelamaan di sana nanti kamu terkena diabetes, efek senyumnya yang sangat manis nggak baik buat kolonimu. Biar aku yang menikmati manis senyumnya titisan Bidadari. Selamat pagi Hawaku….
            Perlahan pemilik senyum monalisa part II ini mulai menemukan cara untuk tersenyum kembali setelah mendapat tulisan-tulisan dari Farid. Fira sahabatnya merasa senang melihat perubahan dari Hawa, Fira juga menceritakan tentang Farid kepada Hawa, karena sebelumya ia berbincang banyak dengan Farid. Tentang Farid yang juga celaka ketika ro’an (kerja bakti) di pondok tepat dihari dimana Hawa mengalami kebutaan, tangan Farid terkena sabit yang hingga sekarang masih ada bekasnya. Mendengarnya Hawa teringat ketika Farid mengalami hukuman berat dari guru BP, Hawa menangisinya. Ternyata Faridlah orang yang selama ini mengganggu hati dan pikiran Hawa. Walaupun Farid kembali dengan memenuhi syarat menantu yang diinginkan ayahnya, namun keadaan sekarang terbalik. Berbeda dengan yang dulu.
            Meskipun Hawa selalu menghindar dari Farid, namun Farid terus berusaha untuk bisa bicara dengan Hawa. Hingga suatu saat mereka bisa bertemu dengan bantuan Fira. Pembicaran khidmat pun dimulai. 
           “Aku tau kenapa kau menghindariku Hawa, tak perlu kau merasa minder denganku, aku menjadi seperti ini karena dorongan batin darimu, kalau kau selalu menghindar dariku, maka aku akan kehilangan salah satu alasanku untuk membenahi akhlak” . Ujar Farid dengan kelembutan. 
            “Apa kamu tidak bisa melihat? Keadaannya beda, aku bukan Hawa yang dulu, buat apa kau mendekatiku? Aku tak akan bisa menjadi istri yang baik untukmu, tak bisa menyuguhkan minuman, masak dan sebagainya, buat apa kau menginginkanku untuk menjadi pendamping hidupmu?” jelas Hawa meninggikan nada bicaranya. 
                “Hawa, dengar aku! Bagiku kau tetap Hawaku, bukan milik siapa pun sekalipun itu nabi Adam as. kau tetap Hawaku yang dulu tak perduli apa pun dan bagaimanapun keadaanmu sekarang ini, kau tetap pemilik hati ini Hawa, wanita pertama yang ku pegang tangannya, wanita pertama dan terakhir bagiku. Aku mencintaimu, dan aku berjanji kepada Allah akan mengkhitbahmu setelah aku kembali ke desa, izinkan aku Hawa. Aku akan mengkhitbahmu dengan khataman Al-Qur’an”.  Jawab Farid meyakinkan Hawa. Mereka berdua terdiam, hanya terdengar isak tangis dari keduanya. Hawa pun tak bisa memungkiri bahwa cintanya adalah Farid.
           Tak menunggu lama, dua hari kemudian Farid beserta keluarga di temani oleh Kyai Zawawi (guru besar Farid) silaturrahim ke rumah Hawa berniat untuk mengkhitbahnya. Melihat Hawa Kyai kondang ini terkaget karena melihat sosok makhluk halus yang selalu mengikuti Hawa, Kyai Zawawi dapat menyimpulkan bahwa kebutaan Hawa adalah hal yang tidak wajar. Segera Kyai Zawawi meminta segelas air putih dan di bacakannya doa-doa kemudian menyuruh Hawa untuk meminum air tersebut. Seketika Hawa merintih kesakitan, dengan penuh rasa khawatir Farid membisikkan kepada Hawa agar senantiasa membaca shalawat. Akhirnya Hawa jatuh pingsan, segera ayah Hawa membawanya ke kamar dan membaringkannya. Farid tak bisa berdiam diri melihat kekasihnya menderita, dia duduk didekat Hawa dengan membaca Al-Qur’an tak henti-hentinya, selama delapan jam Hawa tak sadarkan diri, selama itu pula Farid terus membaca Al-Qur’an hanya istirahat shalat saja. 
               Tepat ketika Farid khatam Al-Qur’an, Hawa sadarkan diri, dengan penglihatannya yang kembali sempurna. Gendam yang diantarkan kepada Hawa kembali kepada pemiliknya, mereka pun tau siapa pelakunya, namun mereka tak mau membalas. Bagi mereka hukuman dari Allah SWT lah yang lebih adil.
            Kegembiraan mereka pun sempurna sudah, Hawa dapat melihat kembali Si tampan Farid dengan kedua permatanya. 
           “Hawa, aku berharap kau akan tetap menjadi Hawaku hingga kehidupan kedua kita, aku yakin Allah SWT telah menyandingkan kita di zaman azali. Kau tetap menjadi istri dan ibu yang sempurna untuk anak-anakku kelak, terimakasih atas penantianmu selama bertahun-tahun”. Kata Farid dengan kebahagiaan yang menggebu.
            Cinta tak harus dinyatakan dengan kata-kata, bila memang jodoh biarkanlah hati yang bicara. Tulang rusuk yang hilang akan kembali pada pemiliknya, tak akan tertukar, tak akan lenyap biarkanlah waktu yang menjawab dengan skenario Allah SWT.


Pati, 13 Juni 2013
dimuat di Koran Jateng Pos

Minggu, 09 Juni 2013

Penyesalan Menjelang Kematian
         Oleh : Nur Colis


Akan aku lepas segala keduniawiaanku
dari apa yang telah susah aku dapat
sepanjang usiaku
hingga ahirnya aku wafat

Harta yang melimpah,
rumah yang mewah,
kedudukan,
popularitas,
hingga keluarga dan orang yang aku sayang

semuanya akan aku tinggalkan
semuanya…..
tanpa terkecuali

yang aku bawa hanya penyesalan tak bertepi
mengapa aku melupakan Tuhanku yang telah memberi segalanya
sehingga tercukupi??