Oleh : Widiyanita
Anggarva
Pengusa
Malam perlahan merekahkan jubahnya di kanvas cakrawala dan hanya tertinggal siluet
senja yang masih tersirat. Bulan perlahan mulai berpendar,bersamaan dengan
semakin ramainya pujian mengema dari satu surau ke surau yg lainnya.
“Hmmm
begitu indah dan damainya bulan Ramadhan itu.” Batinku, seraya menyusuri jalan
setapak yang menghubungkan rumahku dengan jalan raya.
“Lho,
tumben jam segini udah pulang, Nak?”
tanya seorang ibu yang hendak bergegas ke surau di ujung jalan sana
“Ini
bulan ramadhan, jadi stok dan jam malamnya di kurangi.” Ucapku dalam hati,
karena tidak mungkin dengan gamblang aku mengatakanya.
“Iya,
kebetulan kerjaan lagi tidak banyak, Bu. Jadi bisa pulang agak sore. Mangga, Bu. Izza duluan...” pamitku.
Malam
mulai menguasai waktu. Ku pandang pantulan diriku di cermin, aku malu, ya aku
malu! Begitu hinanya diriku. Bahkan tidak pantas lagi di sebut sebgai hamba
Allah.
“Sudah
jam dua pagi,” ucapku sambil melirik jam dinding yang terus berputar tanpa
pernah mengeluh pusing sedikitpun. Perlahan ku tarik tirai kamar ibuku, dan
memastikan bahwa ia sudah terlelap dalam buai mimpinya.
“Ya Allah, penguasa yang mengatur
seluruh jalannya hidup ini. Ampunnilah hamba jika sering melanggar kaidah
agamamu. Illahi Robbi, izinkanlah hambamu ini menginjakkan tanah yang engkau
sucikan. Sebelum akhirnya engkau memanggilku untuk kembali pada Mu. Amin ya robbal alamin.” Bulir-bulir
airmata seketika mengelincir dari singahsananya. Hatiku begitu tergetar,
mendenggar doa-doa itu terpanjatkan oleh perempuan yang menyimpan surgaku.
“Kapan aku dapat mewujudkan
keinginan, Ummi?” Batinku.
“Lho, Izza belum tidur?” Tanya Ummi.
Segera ku usap peluh air mata yang masih basah di pipiku.
“Belum, Ummi. Tadi Izza harus
menghitung stok barang untuk di stor besok,” jelasku yang tentu saja bohong.
“Ya sudah. Sana istirahat!”
Semalaman suntuk, mataku sulit untuk
terpejam. Terus terbelalak menerawang langit-langit kamar yang hanya berupa
genting tua. Aku baru sadar, ternyata aku tercipta hanya menyusahkan hidup
Ummi. Aku tak pernah sadar betapa kerasnya Ummi membanting tulang demi hidupku.
Tapi apa yang saat ini aku lakukan? Dan apa jadinya jika beliau mengetahui
pekerjaanku sebagai kunang-kunang malam? Andai Ummi tau, apakah akan
mengusirku? Atau langsung membunuhku?.
Hatiku yang semula gundah, menjadi
sedikit tenang ketika lantunan ayat suci Al Qur’an yang di bacakan Ummi,
menyelusup lewat kedua telingaku. Hatiku seperti di selimuti kedamaian. Hingga
perlahan kelopak mataku mulai terkatup dan buai mimpi telah mengelus jiwaku
untuk turut menjelajahi dunianya.
***
Hari ini aku harus berbohong lagi
kepada Ummi. Ku cari alasan yang paling meyakinkan agar ia percaya.
“Enam bulan ke depan, Izza dapat
sift malam terus, Mi.”
“Iya, Iz. Ummi paham hal itu.” Lalu
ku cium tangan wanita yang suci di depanku ini. Aku sebenarnya takut, takut
sekali. Aku takut tanganku yang kotor ini menodai tanggan Ummi yang suci dan
putih itu.
Gemerlap lampu merah, kuning, hijau
di depan lokalisasi telah menyambutku. Mungkin tak hanya lampu, tapi juga para
laki-laki yang haus akan kasih sayang.
“Baru datang, say…” ucap seorang
laki-laki yang langsung merengkuh tubuhku dan menggandengku menuju sebuah
kamar. Bau alkohol tercium dari mulutnya, dan aku tau inilah saatnya aku
menjalankan tugas.
“Puaskah dirimu telah menodaiku?”
gumanku sambil memunguti baju yang berserakan di lantai. Ia hanya tersenyum
seolah tak berdosa
“Sembilan juta sudah cukup untuk
hari ini.” Lanjutku dan beranjak meninggalkan
laki-laki jablay yang sedang terkapar di atas ranjang
Kini
tugasku telah usai. Di sepanjang jalan raya, masih ku temukan para kunang
kunang malam yang senasib denganku. Menanti dirinya untuk di paggil sebagai
pemuas nafsu birahi dan sehabis itu di terlantarkan begitu saja. Hanya uang dan
dosa yang tertinggal di samping raga tak berdaya. Aku tahu benar, bukan ini jalan
dan pilihan yang kita mau.
Semilir
angin malam perlahan mempermainkan helai demi helai rambutku. Bulan benderang
masih terlihat menemani setiap langkahku, berarti ini belum saatnya aku untuk
pulang.
Bangku
taman dengan sedikit pantulan cahaya lampu kota seperti melambai-lambai ke
arahku, mengajakku untuk sejenak duduk dan menemaninya.
“Hasil
tes laboraturium tadi pagi belum aku baca, kira-kira isinya apa ya?” Aku
bertanya pada diriku sendiri. Perlahan ku buka amplop berwarna coklat, ku ambil
lembaran kertas yang kop suratnya bertuliskan laboraturium “Kencana”
“JEDUEERRR!”
Petir serasa menyambar hati dan menghunus nadi, ketika ku baca tulisan yang
mennyatakan aku positiv terjangkit virus HIV. Airmata seketika meleleh bak
lilin yang terbakar api. Mata ini sudah tak kuasa membendungnya ketika
menyaksikan sendiri apa yang telah tertera dalam secarik kertas itu.
“Apa
ini karma darimu, Tuhan?” Tanyaku kepada sang illahi robbi
“Aku
akan ikhlas menerima ini semua. Aku memang pantas untuk mendapatkan azab
dari-Mu. Entahlah, sampai kapan aku bisa bertahan hidup dan terus bersanding
dengan penyakit yang engkau karuniakan ini, Tuhan...” Ratapanku di sela-sela
isak tangis yang tak kunjung mereda.
“Kenapa
kamu baru menyesalinya hari ini?” hatiku turut memarahi.
“Berarti,
salah satu cara menyadarkanmu adalah dengan di uji terlebih dahulu! Apa kamu
tidak kasihan sama dirimu sendiri? Apa kamu tidak kasihan jika berita ini
terdengar oleh ibumu?” Lanjutnya menghakimiku.
“Sudah!
Cukup hentikan!” Ku maki diriku sendiri.
“Aku
sadar aku salah! Biar ku tanggung ini sendiri! Jika saat ini dan detik ini Allah mengambil nyawaku, aku ikhlas kembali
kepada-Nya. Aku akan pertanggung jawabkan semua kelakuanku ini.”
***
Semakin
hari berat badanku semakin menurun, lekuk tubuh yang dulu sering di kagumi dan
di puja-puja kaum Adam tak terlihat lagi. Demam terus menemani hari-hariku dan
kini tumbuh beberapa benjolan yang begitu sakit di bagian tubuhku. Begitu
sakitnya, hingga aku tak tau mana yang harus aku keluhkan. Jika Ummi sosok yang
paling aku cintai bertanya tentang apa yang terjadi denganku, aku hanya
menjawab, “Mungkin ini hanya demam dan benjolan biasa, Mi! ngak usah khawatir,
seminggu lagi juga sembuh.” Setelah aku berkata seperti itu, Ummi pasti akan
langsung percaya.
Hari
ini aku memilih untuk beristirahat sejenak. Ku temani Ummi menjahit sebuah
gammis berwarna hijau dengan bordiran bunga di sekitar lengan dan leher. Cantik
sekali.
“Bajunya
bagus sekali, Mi?” tanyaku.
“Baju
ini adalah baju termahal yang pernah Ummi buat. Ini pesanan khusus untuk
seseorang yang istimewa.”
“Orang
yang memiliki baju ini pasti orang kaya kan, Mi?” aku kembali bertanya.
“Tidak
juga…” jawab Ummi dengan sedikit menyunggingkan sebuah senyum. Senyum yang
begitu ikhlas. Aku bangga mempunyai seorang ibu sepertinya. Cantik, solehah,
setia pada suami walaupun telah tiada, ialah orang yang melahirkan dan
mengizinkan rahimnya untuk aku huni selama sembialn bulan. Tapi sekarang apa
balasanku untuknya?
“Eh...,
awan-awan kok ngelamun? Mengko kesambet lo!” Aku baru tersadar
jika sedari tadi aku terus melamun.
“Ummi
itu ada-ada saja. Izza mau izin keluar sebentar, Mi!
“Kamu yakin udah merasa baikan?
Kalau iya Ummi izinin kamu pergi.” Aku hanya menjawabnya dengan menganggukan
kepala.
“Mana mungkin uang haram yang aku
dapatkan selama ini halal di gunakan untuk naik haji Ummi? Aku benar-benar
sudah tidak berguna!” Ucapku dalam hati
Panas matahari serasa kian memecah
ubun-ubunku. Aku juga bingung, kemana langkah kaki ini akan membawaku.
Pandangan yang sedari tadi lurus ke depan, berhasil tersita oleh sebuah toko
ukiran di seberang jalan.
“Sebingkai
lukisan ka’bah yang indah...,” gumanku.
Mungkin
inilah yang dapat aku berikan untuk Ummi, dengan uang halal yang ku kumpulkan
sewaktu SMA. Sebelum Allah mengambil nyawa yang sudah Sembilan belas tahun
bersemayan di ragaku, aku ingin melihat Ummi tersenyum atas pemberianku. Malam
ini juga akan ku serahkan lukisan ka’bah ini kepada Ummi.
“Sudah lama Ummi tidak berjamaah
denganmu, Nduk. Sekarang kita sholat
maghrib berjamaah yuk!” Perintah Ummi.
Memang
sudah lama aku meninggalkan perintah agamamku. Ummi dengan setianya terus
mengingatkan, tapi setan sepertinya selalu menang. Untuk kali ini, aku tidak
akan membiarkan hal itu terulang kembali. Lalu ku sucikan kembali tubuhku
dengan baris-baris doa. Mukena yang ku gunakan sampai basah oleh air mata.
Damai mulai menyelimuti hatiku.
Semalam
Belum sempat ku serahkan langsung lukisan ka’bah itu kepada Ummi, karena aku
begitu menikmati kedektanku dengaan Tuhan. “Wajah Ummi teduh sekali pagi ini.”
Gumanku, tak sabar lagi untuk memberikan lukisan ini padanya.
Baru
sejengkal ku langkahkan kaki ini, pandanganku begitu tersita oleh gamis yang
kemarin aku tanyakan ke Ummi.
“Izza?
Kenapa di gamis ini terajut namaku? Ini buat Izza, Ummi?” tanyaku. Akupun hanya
tertawa, melihat kekonyolan yang ku perbuat. “Orang tidur kok tak ajak
ngomong...”
Lalu
ku dekati Ummi, membangunkannya dengan perlahan. Aku ingin melihatnya tersenyum
bangga dengan pemberianku ini.
“Ummi...
ayo bangun....” ini kesekian kalinya aku membangunkan Ummi tanpa ada respon
sedikitpun.
“Ummi....”
ku coba sekali lagi.
Pikiranku
menjadi kalut, tanganku gemetar mengenggam tangan orang yang paling aku cintai
telah dingin tak bernyawa lagi.
“Ya
Allah..., kenapa engkau tak mengizinkan aku untuk sebentar saja membahagiakan
orang yang paling aku sayang?” ucapku bersamaan denganisak tangis yang tak kunjung
reda.
Kini
aku hanya sendirian menikati rasa sakitku, yang kian hari kian mendekatkan aku
kembali kepadaNya.*****
Biodata
Widiyanita
Anggarva, lahir di Pati, September 1995. Redaktur Rumah tinta Pati. Menyukai
menulis sebagai wujud ekspresi jiwanya. email :widyyapathie@yahoo.co.id/
Diterbitkan di Koran Jateng Pos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar