Di
ranah kehidupan yang serba modern ini, tak
menutup kemungkinan dunia ghaib ikut berorientasi di dalamnya, sebagai muslim
kita hendaknya mempercayai keberadaannya. Tetap jaga hati dan bentengi diri
dengan memperbanyak ibadah.
Dia ‘Hawa’ku
(Aku Khitbah Engkau dengan Khataman
Al-Qur’an)
Hawa, gadis cantik nan anggun
berparas elok bak titisan bidadari ini membuat semua mata terpukau oleh
sinarnya. Mentari pun iri dengan sinar yang dimiliki oleh peri tak bersayap
ini. Dara yang menginjak usianya yang ke 17 tahun ini bagai bunga yang baru
mekar dengan sempurna. Kini dia duduk di kelas Sembilan, walaupun dia
bersekolah di SMA tapi dia tak pernah meninggalkan jilbab suci yang menyelimuti
rambut indahnya. Jilbab itu dikenakan bukan karena medis, yang mengharuskan dia
memakai jilbab karena suatu penyakit di kepala, bukan juga karena modis atau
pun akademis, namun karena kewajibannya sebagai seorang muslim yang harus
menutup auratnya. Walaupun dia bukan keturunan kyai, namun dia selalu menjujung
tinggi nilai agama. Nilai agama ia peroleh dari guru agama di sekolah juga dari
guru ngajinya yang menganak emaskan dia karena kepandaian dan kecerdasannya.
Banyak teman yang menyukainya, bukan
hanya lawan jenis, teman-teman wanita juga menyukainya karena kesederhanaan dan
kebaikannya. Terlebih teman laki-laki,
banyak yang menyukai dan mencoba mendekatinya, namun belum ada yang bisa
mencuri hatinya. Tak semudah yang mereka bayangkan, mendapatkan hati Hawa
bagaikan menunggu hujan di gurun pasir. Bukan maksudnya untuk pilih-pilih teman
lelaki, tapi dia menginginkan teman lelaki seperti yang di inginkan ayahnya.
Walaupun baru kelas Sembilan, tapi kebiasan orang desa untuk menikahkan anaknya
setelah lulus SMA sukar untuk dimusnahkan. Maka dia mencari teman lelaki bukan
untuk main-main, tetapi untuk dijadikan pendamping hidupnya kelak.
Tak bisa mengingkari kepatuhan terhadap orang tuanya,
dia selalu menjunjung tinggi ucapan dan keputusan orang tuanya, telebih sang
ayah yang menginginkan seorang menantu yang hafidz (hafal Al-qur’an 30 juz).
Faktor itulah yang melatar belakangi Hawa untuk menemukan dambaan hati yang
hafidz. Hawa menyayangi keluarganya lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri. Sempat dia tertarik kepada teman sekelasnya, namun tak pernah ia tunjukan meski
melalui isyarat mata sekalipun. Matanya tak mampu berbicara untuk mengungkapkan
isi hati, karena kepatuhan terhadap sang ayah yang diidolakannya.
Hari itu, ketika perpisahan sekolah
suasana hati Hawa nano-nano rasanya, senang, bahagia, sedih, mix pengen
cucurkan air mata. Tak tau gerangan yang mengganjal dan bergejolak di hatinya,
namun kesedihan itu semakin mendera.
“Hawa...”, suara mengejutkan datang dari arah
belakang tempat dia duduk.
“Hem, iya, iya, iya”, sahutnya terbata-bata karena kaget.
Seorang lelaki tampan berdiri di hadapannya sembari suguhkan senyum hangat
damaikan jiwa.
“Owh, Farid to, mengagetkanku saja”. Kata Hawa dengan balasan
senyum yang tak kalah hangat.
“Kenapa kamu duduk sendiri di sini, Wa? Tak
inginkah kau berfoto-foto ria dengan teman-temanmu?” Tanya Farid.
“Iya, aku
bingung, semestinya harus senang atau sedih?” kata Hawa, kembali bertanya.
“Tak
perlu kau berbingung di sini, ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan
sebaliknya. Jika tak ada pertemuan maka tak ada perpisahan, kalau waktunya
senang engkau malah bersedih, apalagi diwaktu sedih, kesedihanmu akan
bertambah, lalu kapan waktunya kau bersenang-senang, nikmati saja hari ini. Bukankah harus begitu?” Ujar Farid dengan memegang tangan Hawa namun segera ia
lepaskan.
“Ehm,,” sahut Hawa sambil anggukkan kepala, dalam hati ia berbisik,
Farid yang terkenal anak paling nakal, bisa disebut brandal sekolahan, tukang
bikin rusuh bisa melontarkan kata yang membuat si cantik Hawa kikuk.
“Kenapa
bengong? Oh ya, ini hadiah kecil dariku, bukankah kau suka dengan warna hijau,
warna surga bukan? Kamu boleh membukanya ketika di rumah. Tak begitu bernilai,
tapi aku harap engkau menyukainya. Aku pergi dulu, semoga Allah SWT mempertemukan
kita kembali dalam keadaan yang baik tentunya”, pamit Farid. Hawa terus
menerima pemberian Farid masih dalam kondisi kikuk sembari menatap langkah
kepergian Farid, lelaki pertama yang memegang tangannya.
Tak berlama-lama ia melambungkan
lamunannya, ia segera memasukkan kotak kecil berwarna hijau muda cantik dengan
hiasan sederhana dan bergegas untuk berkumpul dengan teman-temannya. Seketika
perasaannya berubah membaik setelah mendengar rangkaian kata dari Farid. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa isi dari
kotak indah itu, namun dia tak dapat membukanya disini. Tak sabar ingin segera
melihat isi dari hadiah tersebut, ia segera pulang ke rumah, bersalaman dengan
orang tua kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Perlahan ia mengeluarkan
kotak indah itu mencermati dan ketika hendak mulai membuka tiba-tiba ayahnya
memanggilnya, reflek dia melempar kotak itu kebawah ranjang dan segera menemui
ayahnya.
Ayahnya mengapresiasi prestasi yang
diperoleh karena menjadi lulusan terbaik tahun ini. Ayahnya mengajak
sekeluarga liburan ke tempat kakeknya di puncak. Di tempat kakeknya sangat asri
dan nyaman, ia sangat senang berada di sana, hingga ia melupakan kado kecil dari
Farid. Sekalipun ia pernah teringat, namun ia lupa dimana ia menaruh kotak itu.
Terkadang ia menyesali karena lupa dimana ia menaruh kotak itu, seandainya saja
kalau dia tau Farid bakal pergi dari desa itu dia tak akan menyia-nyiakan kado
pertamanya. Tak tau apa yang harus dia lakukan, dia benar-benar tak
mengingatnya, hingga dia jenuh dan tak lagi mencoba mengingat.
Banyak lelaki yang datang ke rumah
Hawa untuk mengkhitbahnya, tapi tak satu pun yang diterima. Hingga suatu hari, seorang pria bersama
keluarga berkunjung ke rumah Hawa untuk mengkhitbahnya. Irul, dia anak dari
salah satu orang terkaya di desanya. Sudah lama Irul menyukai Hawa, dan berencana
menikahinya setelah Hawa lulus SMA. Dari kecil apa yang diinginkan Irul selalu
terpenuhi, hari ini dia ingin melamar Hawa, dan bagaimana pun caranya,
keinginannya harus terpenuhi untuk menikahi Hawa. Namun kali ini Sang Kuasa tak
meridhainya, Hawa tidak bisa menerimanya begitu saja, hatinya selalu bergejolak
kepada seorang lelaki yang sudah lama singgah di hatinya. Tak tau apa yang
membuatnya tak bisa melupakan lelaki itu, padahal lelaki itu tidaklah lelaki
yang baik. Dengan dirundung rasa kecewa, Irul dan keluarga pun pulang. Pamitan.
Seakan tak terima dengan kenyataan
yang di terimanya hari ini, Irul terus memutar otaknya mencari ide untuk bisa
mendapatkan Hawa. Terbesit ide nista yang terbaca dari otaknya untuk menemui
dukun di desa seberang. Dukun itu di juluki
Mbah Geni yang terkenal kesaktian di kalangan perdukunan, walaupun dia
tak pernah pergi kesana tapi dia tahu dari teman-temannya yang pernah meminta
bantuan dan selalu berhasil.
Tak pikir panjang karena cinta
butanya terhadap Hawa, Irul pun pergi ke rumah Mah Geni bersama temannya
bernama Dani yang pernah membuktikan kesaktian Mbah Geni. Sedikit terlihat khayal
dengan hal-hal mistis seperti ini, tapi memang begitu adanya. Sesampainya di
sana, bulu kuduknya berdiri, rumahnya terlihat menyeramkan, tapi ia
memberanikan diri untuk masuk demi keinginannya. Ia bertemu dengan Mbah Geni. Tanpa mengutarakan maksudnya, Mbah Geni telah mengetahui maksud kedatangannya.
Tak berlama-lama ia pun kembali ke rumah dan menunggu hasil ikhtiarnya yang tak
wajar.
Sejak hari itu, setiap malam rumah Hawa selalu disatroni burung hantu.
Namun siapa sangka, Si cantik Hawa tak mempan untuk diguna-guna atau pun dipelet. Ia rajin beribadah, tak hanya itu, ia juga dibekali oleh Kyai sekaligus
guru ngajinya dengan doa-doa tolak balak. Hingga Allah SWT juga senantiasa menjaga
Hawa.
Walaupun demikian, Irul tak mau
berputus asa, terus saja ia menemui Mbah Geni dan meminta bantuan. Memang akal
licik dan jahat, selalu saja dukun laknat itu mendapatkan ide busuk. Ia
mengincar Hawa ketika Hawa sedang dalam keadaan tidak suci, yaitu pada saat
menstruasi. Di saat seperti itulah orang mudah untuk disinggahi bangsa halus.
Namun kali ini berbeda dengan tujuan utama, Irul menginginkan hal yang berbeda,
membuat Hawa tidak ada yang menyukai lagi, hingga hanya dirinyalah yang
menyukainya, setelah menikah, Irul mengembalikan Hawa seperti semula, itulah
keinginan picik dari Irul.
Malam itu, tepat hari lahir Hawa,
jum’at kliwon, juga tepat dimana dia haid (menstruasi). Memang Hawa sangat
pelupa, dia melupakan amalannya yang harus dibaca dalam hati ketika haid.
Tepat jarum jam menunjukkan pukul 12 malam, terdengar hujan lebat dibalik
dinding dan gemuruh angin yang dahsyat. Terdengar pula suara-suara aneh yang
menyeramkan, ia memanggil-manggil ayah dan ibunya, namun tak ada feedback.
Akhirnya ia mencoba untuk memejamkan matanya, namun tiba-tiba ada sesuatu yang
berjalan di balik jendela dengan mengeluarkan suara aneh, walau bertambah
ketakutan, namun ia tak mau mengganggu istirahat orang tuanya. Akhirnya ia
memutuskan untuk kembali menurunkan kelopak matanya.
"Shiiuuuuuuutttt…..", dalam
terdengar dekat sekali dengan telinganya, tiba-tiba ada burung hantu yang masuk
ke dalam kamarnya dari arah yang tak diketahui, padahal tak ada celah yang
sekiranya dapat dilewati oleh burung hantu sebesar itu. Kemudian dilihatnya
banyak sekali penampakan di kamarnya dengan wajah yang menyeramkan seketika
burung hantu tersebut menyambar matanya dan Hawa pun pingsan.
Pagi harinya, orang tua Hawa bingung
dan merasa aneh, karena tak biasanya anak perempuan semata wayangnya tidur
sepulas itu hingga belum bangun sampai siang ini. Ibu Hawa segera menghampiri Hawa
ke kamarnya, terkaget melihat anak tersayangnya tergeletak di lantai.
“Ayah,,,ayah,, anak kita, yah”, teriak ibunya
histeris.
“Ada apa buk?” Tanya ayahnya tergesa-gesa menuju kamar Hawa, seketika kaget melihat anaknya pingsan, karena sebelumnya Hawa tak pernah pingsan.
Dengan sigap ayah Hawa menggendongnya ke
atas ranjang, dan membangunkannya. Alhamdulillah, tak berapa lama Hawa sadar,
namun hal yang paling mengejutkan. Hawa tak bisa melihat sama sekali. Orang
tuanya menangis tersedu-sedu melihat anaknya yang tak bisa melihat seperti
semalam.
Orang tuanya membawanya ke rumah
sakit untuk periksa, akan tetapi dokter tak dapat melihat penyebab dari
kebutaannya. Hingga dokter menyarankan untuk membawa Hawa periksa ke luar negeri,
tapi Hawa menolak karena biaya untuk menjalaninya tak mungkin dijangkau dengan
keadaan orang tuanya sekarang ini. Akhirnya dia pun memutuskan untuk tetap
berdiam dalam kebutaannya.
Berkali-kali Irul dan keluarga
datang kembali untuk mengkhitbah Hawa, namun lagi-lagi Hawa menolaknya. Di
dalam kegelapan yang dialaminya setiap hari, hanya satu lelaki yang dapat di
lihat dalam kebutaannya. Keceriannya yang menjadi sinar di rumah tercinta
berubah menjadi mendung yang bergelanyut, matanya yang indah terlihat cekung.
Wajahnya pun tak menampakkan gairah hidup, meskipun ia mencintai lelaki itu,
tetapi ia tak pernah yakin bisa bertemu kembali, apalagi dengan keadaannya yang
seperti ini.
****
Empat tahun berlalu dengan suram,
Hawa menghabiskan hari-harinya dengan berdiam diri di kamar hanya untuk
menangis. Suatu ketika ia menyisir rambutnya dan tidak disengaja sisirnya
terjatuh, dia berusaha untuk mengambilnya, Ibunya yang memandanginya di pintu
membantu untuk mengambil sisir, tetapi ibunya menemukan kotak kecil lusuh penuh
debu. Di ambilnya kotak tersebut dan dibersihkan.
“Ibu, mana sisirnya?” Tanya
Hawa.
“Sebentar nak, ibu menemukan kotak kecil lusuh berwarna hijau, apa ini milikmu?”
Tanya ibunya. Tak pikir lama, Hawa langsung ingat dengan kotak kecil pemberian
Farid. Segera Hawa mengambil kotak itu dan membukanya, ternyata yang membuatnya
penasaran selama ini adalah lonceng cantik berbahan gelas bening bermotif bunga dan bulu yang indah. Terdapat secarik
kertas berwarna hijau pula, Hawa ingin ibunya membacakan untuknya.
Assalamu’alaikum Hawa….
Tak
tau dari mana aku memulainya, aku juga tak pernah tau kenapa aku yang brandalan
dan bringasan ini berubah menjadi pecundang yang kikuk ketika berhadapan dengan
bidadari kesayangan Allah SWT. Hhmm…tak berani aku angkat bicara dihadapanmu. Kau
begitu indah, sinarmu silaukan mata ini hingga aku tertunduk kala bertatap muka
denganmu. Bertemu denganmu memiliki ‘hawa’ tersendiri, sejak pertama kali
bertemu ketika kita SMP, hati ini telah tertunduk padamu. Karenamu aku
menundukkan pandangan ini terhadap yang lain.
Bahkan
mutiara hitam pun tak pantas bersanding denganmu. Apalagi aku seoarang brandal
sekolah yang keras kepala dengan posisinya yang salah. Aku kira dengan aku yang
sok jagoan aku bisa menarik perhatianmu, tapi aku salah besar. Ketika aku
mendengar bahwa kau menginginkan seorang hafidz untuk jadi kekasihmu, aku
benar-benar terbungkam dan aku malah semakin menjadi anak yang nakal. Pernah
dulu aku di hukum di lapangan, berdiri dengan satu kaki dan menghisap sepuluh
rokok sekaligus gara-gara aku merokok di waktu kosong, aku sempat melihat kau
menangis. GeEr-nya aku mengira kau menangisiku. Tapi tak mungkin.
Aku
beri benda sederhana ini untukmu, kau wanita pertama yang membunyikan
lonceng di jantungku, aku berharap kau senantiasa mengingatku kala mendengar nyanyian dari lonceng itu, lonceng itu akan
menemani dan menjagamu untuk menggantikan aku.
Hawa,
perlu kamu ketahui, berapa banyak nyali yang harus aku kumpulkan untuk menulis
ini, dan memberikannya padamu. Kali ini aku akan benar-benar mengumpulkan nyali
itu untuk kembali padamu. Aku akan pergi dalam beberapa tahun kedepan, maaf aku
tak mampu berpamitan langsung, karena inilah caraku. Aku pasti kembali dengan
keadaan yang jauh lebih baik dari yang sekarang ini. Aku harap kau bersedia
menantiku. Banyak kisah tentangmu yang tak mungkin aku tulis semua, cukup aku
simpan dalam sanubari. Bahwa kaulah yang terindah.
Baru
ini yang dapat aku sampaikan padamu, maaf tulisannya dan bahasanya semprawut
seperti hidupku…. Heheee.. Jaga dirimu baik-baik wahai titisan Bidadari. Wassalamu’alaikum….
Farid.
Hawa mendengar dengan khidmat seraya meraba lonceng
dengan cermat, menganalisis setiap lekuknya, tak dirasa air matanya jatuh
perlahan lewati pipi halusnya yang terlihat tak terawat lagi.
“Apakah lelaki
ini yang membuatmu menolak semua lamaran yang datang?” Tanya ibunya sembari
mengusap air mata buah hatinya.
“Bukan Ibu”, jawab Hawa.
“Lalu, apa arti air
mata ini nak..??” Ibunya kembali bertanya.
“Aku cuma bersedih, apakah masih ada
lelaki yang mencintaiku dengan tulus setelah melihat keadaanku yang seperti
ini?” rintih Hawa.
“Allah Maha adil nak, pada zaman azali Allah SWT telah
menyandingkanmu dengan jodohmu, percayalah bahwa kau bagian dari tulang rusuk
pasanganmu, dia akan datang dengan segala ketulusannya dan tak mungkin
tertukar”. Jawab sang Ibu sembari membelai rambut indah Hawa. Hawa pun
mengangguk faham.
Semenjak kebutaannya Hawa tak pernah
lagi mau bergaul dengan temannya, ia masih terpukul dengan musibah yang di
terimanya. Baru setelah ia mendengar surat dari Farid ia mau belajar huruf
braile. Teman dekatnya, Si Fira dengan senang hati mengantar Hawa untuk belajar
huruf braile dan menemani kemanapun Hawa hendak pergi.
Waktupun berjalan secepat jarum jam berputar. Malam, pagi, siang, senja, Hawa terus belajar dan tak lupa berdoa. Satu bulan, dua bulan, satu tahun, hingga bertahun-tahun tak lupa belajar dan berdo'a.
***
Empat tahun berlalu, Farid kembali
ke desa tercintanya dengan perubahan yang luar biasa. Dulu dia yang terkenal
brandal jalanan, biang kerok sekolahan, sekarang dia pulang membawa 30 juz
Al-Qur’an di luar kepala. Namun terkaget bukan kepalang kala ia melihat dari
jauh, Hawa yang berdiri dengan sebatang tongkat, cahaya di dirinya yang redup.
Bagai berlian yang kehilangan sinarnya. Tak kuasa melihat wanita yang dipujanya menderita, ia pun teteskan air mata.
“Hawa” terdengar suara parau yang tak
asing lagi di telinga Hawa.
“Farid kah itu?” Tanya Hawa penasaran.
“iya Hawa,
aku Farid. Namun aku bukan Farid Si biang kerok SMA, aku kembali dengan yang
jauh lebih baik seperti yang ku janjikan padamu”. Jawab Farid.
“Iya kah?
Bagaimana kuliahmu, aku dengar kau telah wisuda kemarin, apakah kau banyak
berubah?” celoteh Hawa penuh pertanyaan.
“Iya, aku banyak berubah, aku bukan
Farid yang ingusan nan brandalan lagi. Namun hati tak berubah untukmu Hawa”
jawab Farid.
“Hmm,,, kau pandai bicara sekarang, tapi sayang aku tak bisa
ngobrol lebih lama denganmu, aku harus pergi sekarang.” Hawa berusaha
mengalihkan pembicaraan dan beranjak bersama Fira.
Di perjalanan Fira bertanya mengapa
Hawa menghindar dari Farid, lagi-lagi jawaban yang sama di lontarkan si cantik
ini, ‘minder’. Ia merasa tak pantas berhadapan dengan Farid dengan keadaan
seperti ini apalagi mendengar semua perubahan Farid yang sempat gemparkan
semua orang yang hidup di masa lalunya. Hawa senang atas kembalinya Farid, tapi
dibalik rasa senangnya terdapat kesedihan yang mencekam jiwa hingga mati rasa
untuk menikmati kegembiraan.
Hampir setiap pagi Farid kirimkan
tulisan dengan huruf braile kepada Hawa, dengan semangat Farid juga mempelajari
braile. Salah satu isi dari kertas paginya adalah:
Semut cantik..
Merayaplah
di tubuhnya, katakan padanya tentang rasa sayangku yang tulus padanya. Tapi
kamu jangan iri dengan kecantikannya yang tundukan jagad, jangan kau rusak
kulitnya yang lembut dengan gigitanmu. Dia Peri tanpa sayap yang mampu
menerbangkan khayalanku. Ucapkan sapaan selamat pagi juga untuknya, “Met pagi Princess Hawa”. Setelah
tugasmu selesai cepet kembali ya semut. Kalau kelamaan di sana nanti kamu
terkena diabetes, efek senyumnya yang sangat manis nggak baik buat kolonimu.
Biar aku yang menikmati manis senyumnya titisan Bidadari. Selamat pagi Hawaku….
Perlahan pemilik senyum monalisa
part II ini mulai menemukan cara untuk tersenyum kembali setelah mendapat
tulisan-tulisan dari Farid. Fira sahabatnya merasa senang melihat perubahan
dari Hawa, Fira juga menceritakan tentang Farid kepada Hawa, karena sebelumya
ia berbincang banyak dengan Farid. Tentang Farid yang juga celaka ketika ro’an
(kerja bakti) di pondok tepat dihari dimana Hawa mengalami kebutaan, tangan
Farid terkena sabit yang hingga sekarang masih ada bekasnya. Mendengarnya Hawa
teringat ketika Farid mengalami hukuman berat dari guru BP, Hawa menangisinya.
Ternyata Faridlah orang yang selama ini mengganggu hati dan pikiran Hawa.
Walaupun Farid kembali dengan memenuhi syarat menantu yang diinginkan ayahnya,
namun keadaan sekarang terbalik. Berbeda dengan yang dulu.
Meskipun Hawa selalu menghindar dari
Farid, namun Farid terus berusaha untuk bisa bicara dengan Hawa. Hingga suatu
saat mereka bisa bertemu dengan bantuan Fira. Pembicaran khidmat pun dimulai.
“Aku tau kenapa kau menghindariku Hawa, tak perlu kau merasa minder denganku,
aku menjadi seperti ini karena dorongan batin darimu, kalau kau selalu
menghindar dariku, maka aku akan kehilangan salah satu alasanku untuk membenahi
akhlak” . Ujar Farid dengan kelembutan.
“Apa kamu tidak bisa melihat?
Keadaannya beda, aku bukan Hawa yang dulu, buat apa kau mendekatiku? Aku tak
akan bisa menjadi istri yang baik untukmu, tak bisa menyuguhkan minuman, masak
dan sebagainya, buat apa kau menginginkanku untuk menjadi pendamping hidupmu?”
jelas Hawa meninggikan nada bicaranya.
“Hawa, dengar aku! Bagiku kau tetap
Hawaku, bukan milik siapa pun sekalipun itu nabi Adam as. kau tetap Hawaku yang
dulu tak perduli apa pun dan bagaimanapun keadaanmu sekarang ini, kau tetap
pemilik hati ini Hawa, wanita pertama yang ku pegang tangannya, wanita pertama
dan terakhir bagiku. Aku mencintaimu, dan aku berjanji kepada Allah akan
mengkhitbahmu setelah aku kembali ke desa, izinkan aku Hawa. Aku akan
mengkhitbahmu dengan khataman Al-Qur’an”. Jawab Farid meyakinkan Hawa. Mereka berdua
terdiam, hanya terdengar isak tangis dari keduanya. Hawa pun tak bisa
memungkiri bahwa cintanya adalah Farid.
Tak menunggu lama, dua hari kemudian
Farid beserta keluarga di temani oleh Kyai Zawawi (guru besar Farid)
silaturrahim ke rumah Hawa berniat untuk mengkhitbahnya. Melihat Hawa Kyai
kondang ini terkaget karena melihat sosok makhluk halus yang selalu mengikuti
Hawa, Kyai Zawawi dapat menyimpulkan bahwa kebutaan Hawa adalah hal yang tidak
wajar. Segera Kyai Zawawi meminta segelas air putih dan di bacakannya doa-doa
kemudian menyuruh Hawa untuk meminum air tersebut. Seketika Hawa merintih
kesakitan, dengan penuh rasa khawatir Farid membisikkan kepada Hawa agar
senantiasa membaca shalawat. Akhirnya Hawa jatuh pingsan, segera ayah Hawa
membawanya ke kamar dan membaringkannya. Farid tak bisa berdiam diri melihat
kekasihnya menderita, dia duduk didekat Hawa dengan membaca Al-Qur’an tak
henti-hentinya, selama delapan jam Hawa tak sadarkan diri, selama itu pula
Farid terus membaca Al-Qur’an hanya istirahat shalat saja.
Tepat ketika Farid
khatam Al-Qur’an, Hawa sadarkan diri, dengan penglihatannya yang kembali
sempurna. Gendam yang diantarkan kepada Hawa kembali kepada pemiliknya, mereka
pun tau siapa pelakunya, namun mereka tak mau membalas. Bagi mereka hukuman
dari Allah SWT lah yang lebih adil.
Kegembiraan mereka pun sempurna
sudah, Hawa dapat melihat kembali Si tampan Farid dengan kedua permatanya.
“Hawa, aku berharap kau akan tetap menjadi Hawaku hingga kehidupan kedua kita, aku
yakin Allah SWT telah menyandingkan kita di zaman azali. Kau tetap menjadi istri
dan ibu yang sempurna untuk anak-anakku kelak, terimakasih atas penantianmu
selama bertahun-tahun”. Kata Farid dengan kebahagiaan yang menggebu.
Cinta tak harus dinyatakan dengan
kata-kata, bila memang jodoh biarkanlah hati yang bicara. Tulang rusuk yang
hilang akan kembali pada pemiliknya, tak akan tertukar, tak akan lenyap
biarkanlah waktu yang menjawab dengan skenario Allah SWT.
Pati, 13 Juni 2013
dimuat di Koran Jateng Pos