Senin, 05 Agustus 2013

CERPEN

SEBINGKAI LUKISAN KA'BAH
Oleh : Widiyanita Anggarva
Pengusa Malam perlahan merekahkan jubahnya di kanvas cakrawala dan hanya tertinggal siluet senja yang masih tersirat. Bulan perlahan mulai berpendar,bersamaan dengan semakin ramainya pujian mengema dari satu surau ke surau yg lainnya.
“Hmmm begitu indah dan damainya bulan Ramadhan itu.” Batinku, seraya menyusuri jalan setapak yang menghubungkan rumahku dengan jalan raya.
“Lho, tumben jam segini udah pulang, Nak?” tanya seorang ibu yang hendak bergegas ke surau di ujung jalan sana
“Ini bulan ramadhan, jadi stok dan jam malamnya di kurangi.” Ucapku dalam hati, karena tidak mungkin dengan gamblang aku mengatakanya.
“Iya, kebetulan kerjaan lagi tidak banyak, Bu. Jadi bisa pulang agak sore. Mangga, Bu. Izza duluan...” pamitku.
Malam mulai menguasai waktu. Ku pandang pantulan diriku di cermin, aku malu, ya aku malu! Begitu hinanya diriku. Bahkan tidak pantas lagi di sebut sebgai hamba Allah.
“Sudah jam dua pagi,” ucapku sambil melirik jam dinding yang terus berputar tanpa pernah mengeluh pusing sedikitpun. Perlahan ku tarik tirai kamar ibuku, dan memastikan bahwa ia sudah terlelap dalam buai mimpinya.
            “Ya Allah, penguasa yang mengatur seluruh jalannya hidup ini. Ampunnilah hamba jika sering melanggar kaidah agamamu. Illahi Robbi, izinkanlah hambamu ini menginjakkan tanah yang engkau sucikan. Sebelum akhirnya engkau memanggilku untuk kembali pada Mu. Amin ya robbal alamin.” Bulir-bulir airmata seketika mengelincir dari singahsananya. Hatiku begitu tergetar, mendenggar doa-doa itu terpanjatkan oleh perempuan yang menyimpan surgaku.
            “Kapan aku dapat mewujudkan keinginan, Ummi?” Batinku.
            “Lho, Izza belum tidur?” Tanya Ummi. Segera ku usap peluh air mata yang masih basah di pipiku.
            “Belum, Ummi. Tadi Izza harus menghitung stok barang untuk di stor besok,” jelasku yang tentu saja bohong.
            “Ya sudah. Sana istirahat!”
            Semalaman suntuk, mataku sulit untuk terpejam. Terus terbelalak menerawang langit-langit kamar yang hanya berupa genting tua. Aku baru sadar, ternyata aku tercipta hanya menyusahkan hidup Ummi. Aku tak pernah sadar betapa kerasnya Ummi membanting tulang demi hidupku. Tapi apa yang saat ini aku lakukan? Dan apa jadinya jika beliau mengetahui pekerjaanku sebagai kunang-kunang malam? Andai Ummi tau, apakah akan mengusirku? Atau langsung membunuhku?.
            Hatiku yang semula gundah, menjadi sedikit tenang ketika lantunan ayat suci Al Qur’an yang di bacakan Ummi, menyelusup lewat kedua telingaku. Hatiku seperti di selimuti kedamaian. Hingga perlahan kelopak mataku mulai terkatup dan buai mimpi telah mengelus jiwaku untuk turut menjelajahi dunianya.
***
            Hari ini aku harus berbohong lagi kepada Ummi. Ku cari alasan yang paling meyakinkan agar ia percaya. 
            “Enam bulan ke depan, Izza dapat sift malam terus, Mi.”
            “Iya, Iz. Ummi paham hal itu.” Lalu ku cium tangan wanita yang suci di depanku ini. Aku sebenarnya takut, takut sekali. Aku takut tanganku yang kotor ini menodai tanggan Ummi yang suci dan putih itu.
            Gemerlap lampu merah, kuning, hijau di depan lokalisasi telah menyambutku. Mungkin tak hanya lampu, tapi juga para laki-laki yang haus akan kasih sayang.
            “Baru datang, say…” ucap seorang laki-laki yang langsung merengkuh tubuhku dan menggandengku menuju sebuah kamar. Bau alkohol tercium dari mulutnya, dan aku tau inilah saatnya aku menjalankan tugas.
            “Puaskah dirimu telah menodaiku?” gumanku sambil memunguti baju yang berserakan di lantai. Ia hanya tersenyum seolah tak berdosa
            “Sembilan juta sudah cukup untuk hari ini.”  Lanjutku dan beranjak meninggalkan laki-laki jablay yang sedang terkapar di atas ranjang
Kini tugasku telah usai. Di sepanjang jalan raya, masih ku temukan para kunang kunang malam yang senasib denganku. Menanti dirinya untuk di paggil sebagai pemuas nafsu birahi dan sehabis itu di terlantarkan begitu saja. Hanya uang dan dosa yang tertinggal di samping raga tak berdaya. Aku tahu benar, bukan ini jalan dan pilihan yang kita mau.
Semilir angin malam perlahan mempermainkan helai demi helai rambutku. Bulan benderang masih terlihat menemani setiap langkahku, berarti ini belum saatnya aku untuk pulang.
Bangku taman dengan sedikit pantulan cahaya lampu kota seperti melambai-lambai ke arahku, mengajakku untuk sejenak duduk dan menemaninya.
“Hasil tes laboraturium tadi pagi belum aku baca, kira-kira isinya apa ya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Perlahan ku buka amplop berwarna coklat, ku ambil lembaran kertas yang kop suratnya bertuliskan laboraturium “Kencana”
“JEDUEERRR!” Petir serasa menyambar hati dan menghunus nadi, ketika ku baca tulisan yang mennyatakan aku positiv terjangkit virus HIV. Airmata seketika meleleh bak lilin yang terbakar api. Mata ini sudah tak kuasa membendungnya ketika menyaksikan sendiri apa yang telah tertera dalam secarik kertas itu.
“Apa ini karma darimu, Tuhan?” Tanyaku kepada sang illahi robbi
“Aku akan ikhlas menerima ini semua. Aku memang pantas untuk mendapatkan azab dari-Mu. Entahlah, sampai kapan aku bisa bertahan hidup dan terus bersanding dengan penyakit yang engkau karuniakan ini, Tuhan...” Ratapanku di sela-sela isak tangis yang tak kunjung mereda.
“Kenapa kamu baru menyesalinya hari ini?” hatiku turut memarahi.
“Berarti, salah satu cara menyadarkanmu adalah dengan di uji terlebih dahulu! Apa kamu tidak kasihan sama dirimu sendiri? Apa kamu tidak kasihan jika berita ini terdengar oleh ibumu?” Lanjutnya menghakimiku.
“Sudah! Cukup hentikan!” Ku maki diriku sendiri.
“Aku sadar aku salah! Biar ku tanggung ini sendiri! Jika saat ini dan detik ini  Allah mengambil nyawaku, aku ikhlas kembali kepada-Nya. Aku akan pertanggung jawabkan semua kelakuanku ini.”  
***
Semakin hari berat badanku semakin menurun, lekuk tubuh yang dulu sering di kagumi dan di puja-puja kaum Adam tak terlihat lagi. Demam terus menemani hari-hariku dan kini tumbuh beberapa benjolan yang begitu sakit di bagian tubuhku. Begitu sakitnya, hingga aku tak tau mana yang harus aku keluhkan. Jika Ummi sosok yang paling aku cintai bertanya tentang apa yang terjadi denganku, aku hanya menjawab, “Mungkin ini hanya demam dan benjolan biasa, Mi! ngak usah khawatir, seminggu lagi juga sembuh.” Setelah aku berkata seperti itu, Ummi pasti akan langsung percaya.
Hari ini aku memilih untuk beristirahat sejenak. Ku temani Ummi menjahit sebuah gammis berwarna hijau dengan bordiran bunga di sekitar lengan dan leher. Cantik sekali.
“Bajunya bagus sekali, Mi?” tanyaku.
“Baju ini adalah baju termahal yang pernah Ummi buat. Ini pesanan khusus untuk seseorang yang istimewa.”
“Orang yang memiliki baju ini pasti orang kaya kan, Mi?” aku kembali bertanya.
“Tidak juga…” jawab Ummi dengan sedikit menyunggingkan sebuah senyum. Senyum yang begitu ikhlas. Aku bangga mempunyai seorang ibu sepertinya. Cantik, solehah, setia pada suami walaupun telah tiada, ialah orang yang melahirkan dan mengizinkan rahimnya untuk aku huni selama sembialn bulan. Tapi sekarang apa balasanku untuknya?
“Eh..., awan-awan kok ngelamun? Mengko kesambet lo!” Aku baru tersadar jika sedari tadi aku terus melamun.
“Ummi itu ada-ada saja. Izza mau izin keluar sebentar, Mi!
            “Kamu yakin udah merasa baikan? Kalau iya Ummi izinin kamu pergi.” Aku hanya menjawabnya dengan menganggukan kepala.
            “Mana mungkin uang haram yang aku dapatkan selama ini halal di gunakan untuk naik haji Ummi? Aku benar-benar sudah tidak berguna!” Ucapku dalam hati
            Panas matahari serasa kian memecah ubun-ubunku. Aku juga bingung, kemana langkah kaki ini akan membawaku. Pandangan yang sedari tadi lurus ke depan, berhasil tersita oleh sebuah toko ukiran di seberang jalan.
“Sebingkai lukisan ka’bah yang indah...,” gumanku.
Mungkin inilah yang dapat aku berikan untuk Ummi, dengan uang halal yang ku kumpulkan sewaktu SMA. Sebelum Allah mengambil nyawa yang sudah Sembilan belas tahun bersemayan di ragaku, aku ingin melihat Ummi tersenyum atas pemberianku. Malam ini juga akan ku serahkan lukisan ka’bah ini kepada Ummi.
            “Sudah lama Ummi tidak berjamaah denganmu, Nduk. Sekarang kita sholat maghrib berjamaah yuk!” Perintah Ummi.
Memang sudah lama aku meninggalkan perintah agamamku. Ummi dengan setianya terus mengingatkan, tapi setan sepertinya selalu menang. Untuk kali ini, aku tidak akan membiarkan hal itu terulang kembali. Lalu ku sucikan kembali tubuhku dengan baris-baris doa. Mukena yang ku gunakan sampai basah oleh air mata. Damai mulai menyelimuti hatiku.
Semalam Belum sempat ku serahkan langsung lukisan ka’bah itu kepada Ummi, karena aku begitu menikmati kedektanku dengaan Tuhan. “Wajah Ummi teduh sekali pagi ini.” Gumanku, tak sabar lagi untuk memberikan lukisan ini padanya.
Baru sejengkal ku langkahkan kaki ini, pandanganku begitu tersita oleh gamis yang kemarin aku tanyakan ke Ummi.
“Izza? Kenapa di gamis ini terajut namaku? Ini buat Izza, Ummi?” tanyaku. Akupun hanya tertawa, melihat kekonyolan yang ku perbuat. “Orang tidur kok tak ajak ngomong...”
Lalu ku dekati Ummi, membangunkannya dengan perlahan. Aku ingin melihatnya tersenyum bangga dengan pemberianku ini.
“Ummi... ayo bangun....” ini kesekian kalinya aku membangunkan Ummi tanpa ada respon sedikitpun.
“Ummi....” ku coba sekali lagi.
Pikiranku menjadi kalut, tanganku gemetar mengenggam tangan orang yang paling aku cintai telah dingin tak bernyawa lagi. 
“Ya Allah..., kenapa engkau tak mengizinkan aku untuk sebentar saja membahagiakan orang yang paling aku sayang?” ucapku bersamaan denganisak tangis yang tak kunjung reda. 
Kini aku hanya sendirian menikati rasa sakitku, yang kian hari kian mendekatkan aku kembali kepadaNya.*****
Biodata
            Widiyanita Anggarva, lahir di Pati, September 1995. Redaktur Rumah tinta Pati. Menyukai menulis sebagai wujud ekspresi jiwanya. email :widyyapathie@yahoo.co.id/
 Diterbitkan di Koran Jateng Pos.